KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat ke-39, Jimmy Carter meninggal di usia 100 tahun di rumah pribadinya di Plains, Georgia, pada 29 Desember 2024.
Ia meninggalkan banyak warisan penting dalam bidang kesehatan masyarakat dan penyakit infeksi, yang berdampak positif di dunia.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih, Presiden Joe Biden menyebut Carter "sahabat baik", yang merupakan "seorang pria dengan karakter dan keberanian yang hebat, harapan, dan optimisme."
“Dengan welas asih dan kejernihan moralnya, ia berupaya memberantas penyakit, menciptakan perdamaian, memajukan hak-hak sipil dan hak asasi manusia, mempromosikan pemilihan umum yang bebas dan adil, menyediakan tempat tinggal bagi para tunawisma, dan selalu memperjuangkan hak-hak yang paling lemah di antara kita.” Kata Presiden Biden.
Karya amal mantan Presiden Carter sejak kekalahannya oleh Reagan pada tahun 1980, sangat melegenda. Ia bekerja dengan berbagai organisasi, termasuk Habitat for Humanity dan lembaga yang menyandang namanya, Carter Center.
Selama beberapa dekade terakhir, Carter juga telah bekerja keras di bidang kesehatan global yang berupaya memberantas penyakit mematikan di seluruh dunia.
Baca juga: Profil Presiden Ke-39 AS Jimmy Carter yang Meninggal di Usia 100 Tahun
Ia menjadi tokoh pelindung di dunia penyakit tropis yang terabaikan, sekelompok kondisi dengan dampak kesehatan dan ekonomi yang sangat luas. Namun, karena penyakit-penyakit ini sebagian besar ditemukan di daerah miskin, mereka sering kurang mendapat perhatian dan studi yang memadai.
Contoh penyakit ini termasuk Chagas, dengue, penyakit cacing Guinea, dan kebutaan sungai (onchocerciasis).
Peter J.Hotez MD,PhD, peneliti dalam pengembangan vaksin, sudah bekerja bertahun-tahun bersama Carter. Di tahun 2006, keduanya berupaya memperkenalkan istilah "penyakit tropis yang diabaikan", pada komunitas kesehatan global.
"Dengan kehadirannya di garis depan, berbicara tentang pentingnya penyakit yang sebelumnya tidak dipedulikan oleh kebanyakan orang, merupakan dorongan luar biasa bagi seluruh bidang penyakit tropis yang terabaikan," ungka Hotez seperti dikutip dari Healthline.
Baca juga: Bukan Hanya Masalah Gizi, Infeksi Berulang Juga Picu Stunting
William Schaffner, MD, profesor penyakit menular di Sekolah Kedokteran Universitas Vanderbilt, menyampaikan hal senada, dengan mengatakan bahwa Carter Center menyoroti "masalah yang terlupakan dari orang-orang yang terlupakan."
"Penyakit tropis ini berada di luar jangkauan kita sehari-hari, di luar pengalaman kita di negara maju, tetapi penyakit ini menyebabkan penderitaan yang tak terkira bagi orang-orang di seluruh dunia," katanya kepada Healthline.
Hotez menyebutkan, penyakit tropis yang terabaikan secara historis sulit diatasi karena berbagai alasan. Penyakit ini paling sering terjadi di daerah dan negara miskin, sering kali di daerah terpencil.
"Penyakit ini juga cenderung melemahkan tetapi tidak mematikan, yang dapat menempatkannya pada urutan paling bawah dalam hal biaya dan sumber daya untuk pengobatan," katanya.
Jika dibandingkan dengan penyakit lain yang lebih banyak diteliti, seperti AIDS atau tuberkulosis, membuat orang peduli pada penyakit infeksi tropis tidak selalu mudah.
Di antara semua penyakit tropis terabaikan yang telah Carter perjuangkan untuk diberantas, penyakit yang paling terkait erat dengan nama Jimmy Carter adalah penyakit cacing Guinea.
Penyakit ini disebabkan oleh larva parasit Dracunculus medinensis, yang biasanya berasal dari air yang terkontaminasi.
Di dalam tubuh, larva betina tumbuh hingga mencapai panjang lebih dari satu meter sebelum keluar melalui lepuhan di kulit untuk melepaskan larvanya ke dalam air.
Baca juga: Stigma Penyakit Tuberkulosis Hambat Pasien Berobat
Carter bekerja tanpa lelah untuk memberantas penyakit ini. Pada pertengahan 1980-an, jumlah kasus penyakit cacing Guinea diperkirakan mencapai 3,5 juta kasus.
Pada tahun 1989, angka tersebut turun menjadi kurang dari satu juta. Menurut laporan terbaru dari WHO dan CDC pada tahun 2022, hanya ada 13 kasus yang diketahui di seluruh dunia.
Komitmen Carter yang luar biasa ini menjadikannya tokoh kunci dalam sejarah kesehatan global.
Gencatan senjata cacing guinea
Pada tahun 1995, selama Perang Saudara Sudan Kedua, Carter membantu menjadi penengah gencatan senjata kemanusiaan terlama dalam sejarah untuk memerangi penyakit tersebut.
Gencatan senjata tersebut kemudian dikenal sebagai "gencatan senjata cacing guinea" selama enam bulan, memberi kesempatan kepada petugas kesehatan untuk mendistribusikan sekitar 200.000 penyaring air yang mampu menyaring larva cacing guinea dan memberikan pengobatan serta edukasi tentang penyakit tersebut.
"Saya ingin melihat cacing Guinea diberantas sepenuhnya sebelum saya meninggal. Saya ingin cacing Guinea terakhir mati sebelum saya," kata Carter pada konferensi pers tahun 2015.
Hotez mengatakan, hasil kerja keras dan warisan Carter adalah "hidup yang dijalani dengan baik".
Baca juga: WHO: Gantikan Covid-19, TBC Sebab Utama Kematian akibat Penyakit Menular
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya