Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Puspita Wijayanti
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Meninjau Kebijakan BPJS Kesehatan: Pentingnya Fleksibilitas Rujukan

Kompas.com - 02/01/2025, 07:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keempat, demam tifoid dengan dehidrasi berat. Penyakit tifoid pada tahap awal bisa diobati dengan antibiotik oral di FKTP.

Namun, pasien yang mengalami dehidrasi berat akibat muntah berulang atau diare memerlukan terapi cairan intravena yang tepat dan pemantauan elektrolit secara ketat.

FKTP umumnya tidak dilengkapi untuk penanganan semacam ini, yang berisiko memperburuk kondisi pasien jika tidak segera dirujuk.

Kelima, hipertensi dengan risiko tinggi. Pasien dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, terutama yang menunjukkan gejala seperti nyeri dada atau gangguan penglihatan, memerlukan evaluasi kerusakan organ target seperti gagal jantung atau stroke.

FKTP umumnya hanya mampu menangani pengendalian tekanan darah secara umum. Namun dalam beberapa kondisi dibutuhkan investigasi mendalam untuk mendiagnosis dan mencegah komplikasi.

Mengapa fleksibilitas rujukan diperlukan?

Kebijakan yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan kompleksitas kasus di lapangan dapat berisiko menurunkan kualitas layanan kesehatan.

Ada tiga alasan utama mengapa fleksibilitas dalam sistem rujukan ini penting:

Pertama, kompleksitas kondisi pasien. Tidak semua kasus dalam daftar 144 penyakit bersifat sederhana. Ada variasi dalam tingkat keparahan dan risiko komplikasi, yang harus dinilai oleh dokter secara klinis.

Memberikan wewenang kepada dokter FKTP untuk menentukan kebutuhan rujukan berdasarkan kondisi pasien adalah langkah yang bijaksana.

Kedua, keterbatasan FKTP. FKTP sering menghadapi keterbatasan alat diagnostik, obat-obatan, dan kapasitas rawat inap. Ini menyebabkan beberapa kasus menjadi tidak tertangani secara optimal di tingkat pertama.

Misalnya, ketiadaan alat seperti EKG atau ultrasound dapat membatasi kemampuan dokter FKTP dalam menangani kasus kompleks.

Ketiga, risiko keterlambatan penanganan. Dalam beberapa kondisi, seperti kejang demam berulang atau serangan asma berat, setiap menit sangat berharga. Penundaan rujukan karena kebijakan administratif dapat memperburuk prognosis pasien.

Perlu solusi konstruktif untuk kebijakan yang lebih adaptif.

Pertama, peningkatan kapasitas FKTP. Kebijakan ini harus diiringi penguatan FKTP melalui penyediaan alat diagnostik dasar, pelatihan tenaga medis untuk menangani kasus lebih kompleks, dan peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang memadai.

Kedua, sistem supervisi melalui telemedicine. FKTP dapat didukung dengan konsultasi langsung dengan dokter spesialis melalui telemedicine, sehingga keputusan untuk merujuk pasien lebih berbasis data klinis yang kuat.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau