Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/11/2013, 12:13 WIB
Wardah Fajri

Penulis


KOMPAS.com
- Bisa dibilang, sikap perfeksionis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasalnya, sikap yang menuntut diri sempurna membuat seseorang menjadi budak dari kesuksesan. Padahal, di dunia yang bergerak cepat seperti sekarang ini, sikap yang paling dibutuhkan agar mampu bertahan adalah fleksibel dan mampu beradaptasi.

Dalam bukunya, A Nation of Wimps, Hara Estroff Marano memaparkan sikap perfeksionis punya banyak kelemahan dibandingkan sisi positifnya. Perfeksionisme yang masuk ke dalam jiwa dan kemudian menciptakan gaya kepribadian, membuat seseorang  tidak bisa menemukan apa yang benar-benar mereka suka, juga tidak bisa menciptakan identitas mereka sendiri.

Perfeksionisme juga mengurangi kesenangan dan asimilasi pengetahuan. Jika Anda selalu terfokus pada performa pribadi dan selalu membela diri sendiri, maka Anda tidak akan bisa fokus pada pembelajaran dari suatu tugas atau pekerjaan. Mengapa? Karena sikap perfeksionis membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk mengambil risiko, mengurangi kreativitas, dan inovasi.

Sikap menuntut diri sempurna juga merupakan sumber dari emosi negatif. Sikap ini tidak membuat seseorang mampu mencapai hal positif, tapi justru membuat seseorang terfokus hanya pada upaya menghindari hal-hal negatif.

Berusaha untuk menghindari penilaian buruk, melakukan kesalahan, justru hanya akan menimbulkan frustasi yang berujung pada gangguan kejiwaan seperti mudah cemas dan depresi.

Pakar mengatakan, perfeksionis tidak lahir dengan sendirinya tapi diciptakan terutama di masa kecil. Misalnya, seorang anak mendapatkan tuntutan tinggi dari orangtuanya untuk selalu mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Ini terjadi lebih karena orangtua ingin mencapai status tertentu dari prestasi atau "kesempurnaan" anak. Tuntutan ini kemudian dipahami anak sebagai kritik atas kesalahan. Anak-anak yang dituntut sempurna kerap merasa dihujani kritik setiap kali berbuat kesalahan. Perfeksionisme juga merupakan bentuk kontrol orangtua terhadap anak-anaknya.  

Psikolog, Randy O Frost, yang juga adalah professor di Smith College melakukan penelitian selama dua dekade terakhir. Ia membagi dimensi perfeksionisme, di antaranya:

"Jika seseorang melakukan tugas di sekolah atau kantor lebih baik dari saya, maka saya akan merasa gagal dalam mengerjakan semua tugas"

"Saya tidak seperti orang lain yang sepertinya lebih mampu menerima standar lebih rendah dari dirinya sendiri"

"Orangtua saya ingin saya menjadi yang terbaik dalam segala hal"

"Saat kecil, saya sering dihukum jika melakukan sesuatu tidak sempurna"

"Saya ketinggalan dalam urusan pekerjaan karena saya kerap mengulangi apa yang saya lakukan demi menjadi sempurna"

"Kerapihan sangat penting bagi saya"

Frost mengatakan, setiap pernyataan tersebut menggambarkan aspek perfeksionisme berikut ini:

* Fokus pada kesalahan.
Perfeksionis cenderung menganggap kesalahan sebagai kegagalan, dan meyakini bahwa mereka tidak akan dihargai orang lain lantaran kegagalan itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com