Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/03/2014, 12:04 WIB

KOMPAS.com — Menginjak bulan ketiga pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, masih banyak keluhan pasien terkait pelayanan kesehatan. Peserta dari Askes dan ASABRI mengeluhkan turunnya mutu pelayanan, baik dari segi pemeriksaan, pemberian obat, maupun pelaksanaan rawat inap. Hal lain yang dikeluhkan adalah prosedur yang berbelit dan antrean panjang di rumah sakit.

Pengamatan Kompas di sejumlah daerah, pekan lalu, menunjukkan hal itu. Darto (73), pensiunan PT Kereta Api Indonesia yang menderita sesak napas, yang ditemui saat menunggu di RSUD Semarang, misalnya, menuturkan, ”Sekarang lebih rumit prosesnya. Waktu masih Askes, antre tidak sampai 15 menit sudah diperiksa. Sekarang, hampir dua jam saya belum dipanggil.”

Usep Saifudin (35), warga Pasir Koja, Bandung, yang ditemui pada Kamis (20/3), di RSUP Hasan Sadikin, Bandung, sudah sembilan bulan rutin memeriksakan anaknya, Putra (5), yang menderita autisme dan epilepsi.

”Sekarang saya harus datang lebih awal, sekitar pukul 05.00, supaya mendapat giliran tidak terlalu siang. Sejak JKN diberlakukan, banyak sekali pengunjung, mungkin karena digabung dengan peserta Askes, Jamsostek, Jamkesda, Jamkesmas, dan masyarakat umum. Sebelum ada JKN, datang pukul 08.00 dapat nomor antrean sekitar nomor 150, dapat giliran masuk ke poli saraf dan ruang rehabilitasi medik sekitar pukul 09.00. Sekarang, jam segitu bisa dapat nomor 500-an,” ujarnya.

Namun, dari segi pelayanan tidak berubah. Menurut Usep, semua tetap gratis, baik pemeriksaan dokter, laboratorium, terapi, maupun obat. Bedanya, sekarang Usep harus membawa surat rujukan dari puskesmas.

Antre dari pukul 05.00 agar dapat nomor awal juga dilakukan pasien di sejumlah rumah sakit di Jakarta, seperti di RS Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, dan RSUD Tarakan. Rata-rata pasien menghabiskan waktu 5-6 jam sejak antre diperiksa dokter sampai mendapat obat dari poli farmasi.

RSUD Pasar Rebo membuka 10 loket pendaftaran, pukul 07.00-11.00. Namun, antrean sudah dimulai sejak subuh. Yahmini (74) yang datang pukul 06.00 mendapat nomor 257. Ia baru diperiksa dokter pukul 11.00. Setelah itu, Yahmini masih harus mengantre untuk dapat obat. Sistem penomoran di poli farmasi rumah sakit itu diawali dengan angka 5. Jika seseorang mendapat antrean ke-108, maka nomornya 5108. Hal ini sering membuat pasien yang belum paham jadi terkejut.

Sejak JKN diterapkan, jumlah pasien di rumah sakit meningkat pesat. Menurut Kepala Satuan Pelaksana Pemasaran RSUD Pasar Rebo Setiyono, jumlah pasien meningkat 30 persen. Rata-rata ada 900 pasien rawat jalan per hari. Sejumlah pasien yang penyakitnya masih bisa ditangani puskesmas tetap dirujuk ke rumah sakit.

Direktur Utama RSUD Tarakan Koesmedi Prihanto menjelaskan, pihaknya membuat sistem online untuk mengatasi masalah antrean. ”Pasien bisa mendaftar dari puskesmas dan mendapat jadwal konsultasi sehingga tidak perlu datang pagi-pagi ke rumah sakit untuk dapat nomor antrean,” katanya.

Sunaryono (60), warga Wonokasian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku repot. Pria yang pernah kena stroke ini rutin periksa ke empat poliklinik di RSUD Sidoarjo, yakni poli saraf, poli jantung, poli penyakit dalam, dan poli rehabilitasi medik. ”Sewaktu pakai Askes, dalam sehari bisa langsung periksa di tiga poli. Sekarang, sehari hanya bisa periksa di satu poli,” katanya. Akibatnya, ia harus bolak-balik ke rumah sakit.

Gesper, warga Rote Ndao, yang mendampingi ayahnya, James Ndolu (75), berobat untuk gangguan paru ke RSUD WZ Yohannes, Kupang, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, pelayanan saat Askes atau JKN sama saja. Mereka harus antre untuk pemeriksaan laboratorium dan dokter beberapa hari akibat panjangnya antrean dan terbatasnya jumlah dokter.

Badaruddin (49), pegawai Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang baru menjalani operasi saluran pencernaan di RS Ibnu Sina, Makassar, merasakan Askes lebih baik. ”Dulu perawatan dilakukan sampai betul-betul pulih baru dipulangkan. Kemarin, saat pakai JKN, saya merasa kondisi badan belum pulih, tapi sudah dipulangkan,” katanya. Dulu, Askes menanggung semua obat. Kini, sejumlah obat harus dibayar sendiri.

Taryana (42), warga Ujung Berung, Bandung, yang memeriksakan anaknya, Seno (12) yang menderita epilepsi dan kelumpuhan, mengaku, sejak penerapan JKN, RS Hasan Sadikin hanya memberikan obat maksimal untuk tujuh hari. ”Sebelumnya rumah sakit biasa memberi obat untuk satu bulan,” kata Taryana.

Kasubag Humas dan Protokoler RSUP Hasan Sadikin Nurul Wulandhani membenarkan hal itu. ”Namun, jika dokter memberikan obat untuk satu bulan, obat yang 23 hari dapat diambil di apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sehingga tetap untuk 1 bulan,” kata Nurul. Hal sama dijelaskan Kepala Divisi Regional V BPJS Kesehatan Jawa Barat Aris Jatmiko.

Di Solo, pasien masih bingung dengan prosedur JKN ketika berobat ke rumah sakit rujukan. Lestari (38), warga Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, mengatakan, jika berobat ke rumah sakit rujukan, pasien harus membawa dokumen lengkap, seperti fotokopi KTP, fotokopi kartu keluarga, fotokopi kartu Jamkesmas, kartu Jamkesmas asli, dan surat rujukan dari puskesmas atau rumah sakit asal. ”Kalau tidak lengkap tidak dilayani,” ujarnya di RSUD dr Moewardi, Solo. Meski demikian, Lestari mengaku terbantu program JKN. Ia tidak membayar biaya sama sekali untuk berobat diabetes.

Hal serupa dirasakan Muhlis (28) yang harus menjalani operasi untuk memperbaiki saraf kelopak mata di RS Fatmawati. Semula ia berobat menggunakan surat keterangan tidak mampu yang perlu proses verifikasi oleh puskesmas bahwa Muhlis tidak punya biaya berobat. Dua minggu lalu, dia membuat kartu JKN untuk kelas dua dengan membayar iuran Rp 42.500 per bulan. ”Saya dirujuk oleh RS Ciawi ke RS Fatmawati. Saya menjalani operasi tanpa dikenai biaya,” katanya.
Masalah klaim

Di sisi lain, sebagian rumah sakit mengeluhkan keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan. Hal itu antara lain dikeluhkan RSUD dr Moewardi, RS Hasan Sadikin, RSUP Mohammad Hoesin, Palembang, dan RSUD Sidoarjo. Hal itu bisa berdampak pada operasional rumah sakit.

Ketika dikonfirmasi, Aris Jatmiko, di Bandung, menyatakan ada masalah pada data kependudukan. Ketika peserta tidak mempunyai nomor identitas kependudukan, tagihan harus diproses secara manual. ”Agar cash flow rumah sakit tidak terganggu, kami membayar dulu uang muka sebesar 75 persen sambil memasukkan data peserta ke sistem aplikasi,” kata Aris.

(UTI/HRS/SEM/RWN/ENG/DEN/FRN/GER/KOR/REK/A04/A15)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com