Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Alasan Psikologi di Balik Panic Buying saat Pandemi Covid-19

Kompas.com - 04/07/2021, 10:31 WIB
Mahardini Nur Afifah

Penulis

KOMPAS.com - Panic buying adalah salah satu fenomena sosial yang berulang kali terjadi sepanjang pandemi Covid-19.

Panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena takut atau khawatir tidak kebagian, harganya melambung, dan sebagainya.

Di awal pandemi, kita jamak melihat orang berbondong-bondong memborong masker dan hand sanitizer.

Baca juga: 8 Ciri-ciri Orang Kreatif Menurut Psikologi Positif

Setahun lebih berselang saat kurva kasus Covid-19 terus melonjak, giliran orang memborong beragam vitamin, obat, sampai susu.

Imbas sejumlah aksi borong tersebut membuat stok barang-barang buruan hilang di pasaran. Jika ada, harganya pun melambung tinggi.

Melansir BBC, kasus panic buying saat pandemi Covid-19 berbeda dengan aksi borong saat bencana alam.

Ketika menghadapi bencana alam seperti banjir atau selepas badai, orang masih punya pertimbangan logis ketika ingin membeli atau menyetok sesuatu.

Untuk kasus banjir misalnya, orang tergerak membeli banyak air mineral atau bahan pangan untuk persiapan krisis air bersih.

Lain halnya dengan pandemi Covid-19. Di tengah segala ketidakpastian, orang jadi memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar, padahal belum tentu dibutuhkan.

Baca juga: 5 Alasan Kenapa Seseorang Susah Minta Maaf Menurut Psikologi

Ternyata, di balik aksi borong tersebut ada alasannya. Melansir Psychology Today, berikut beberapa alasan psikologi di balik panic buying saat pandemi Covid-19:

1. Pengambilan keputusan emosional

Saat mengambil suatu keputusan, ada dua cara berpikir yang biasa digunakan. Yakni keputusan logis dan emosional. Keduanya berbeda sistem berpikirnya.

Otak logis bisa menghitung dan menimbang dengan cermat sebelum mengambil keputusan. Sedangkan otak emosional bersifat intuitif, cepat, dan tanpa didasari pertimbangan matang.

Pikiran logis memberitahu pemiliknya untuk tidak perlu beli terlalu banyak barang. Tapi, otak emosional pertimbangannya lebih baik aman punya dulu daripada menyesal kemudian.

Pikiran emosional sangat sangat selaras dengan citra visual. Ketika bertebaran foto atau video berita orang jamak membeli atau memborong sesuatu, tanpa sadar pikiran emosional mengambil alih suatu keputusan.

2. Mengalami kecemasan antisipatif

Alasan panic buying lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau