Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2014, 19:00 WIB

”Sebagai dokter di puskesmas terpencil, stok obat terkadang tidak lengkap untuk semua jenis penyakit. Meski demikian, obat yang diberikan kepada pasien, entah penyakit apa saja, mampu menyembuhkan sakit mereka,” ujar dr Melinda.

Dokter Melinda mengungkapkan, pasien yang pernah ditolong selalu mengingat dirinya. Tidak jarang, saat datang ke Waenakeng setelah sembuh, mereka menyempatkan diri berkunjung ke puskesmas meski hanya sekadar mengucapkan terima kasih.

Ada juga pasien yang datang membawa oleh-oleh dari hasil desa mereka, seperti jagung muda, buah-buahan, telur ayam kampung, dan ayam.

Darurat

Kondisi darurat sering diakrabi dr Melinda, misalnya ibu yang melahirkan pada malam hari. Apalagi jika di sekitar tempat tinggal sang ibu tidak ada tenaga medis, seperti bidan, ia juga harus mengunjungi pasien tersebut.

Berbeda dengan daerah lain, di area tugasnya tidak ada program Jaminan Persalinan. Program ini memberikan insentif Rp 500.000-Rp 600.000 kepada tenaga medis atau paramedis untuk setiap kelahiran sehat yang dibantunya.

”Saya sering bertengkar dengan pihak keluarga ibu yang akan melahirkan. Terkadang, pada saat kondisi persalinan sudah sangat gawat dan harus diambil tindakan dan keputusan yang cepat, keluarga menolak dengan alasan tidak masuk akal, seperti urusan adat belum beres, minta persetujuan leluhur, dan harus rembuk keluarga terlebih dahulu,” tutur dr Melinda.

Ia mengatakan, meski sudah bekerja maksimal, kasus kematian ibu melahirkan cukup tinggi, yakni 25 orang. Kematian itu, antara lain, disebabkan oleh keengganan pasien dan keluarga pasien untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng.

Ada juga pasien darurat yang baru tiba di puskesmas tengah malam dan pada saat itu listrik padam. Terpaksa dr Melinda memanfaatkan sumber penerangan seadanya, seperti senter, telepon genggam, lilin, atau lampu darurat yang tersedia.

Atas keberhasilan mengemban tugas pelayanan di Puskesmas Waenakeng, Oktober 2013, dia ditugaskan ke Puskesmas Rawat Inap Labuan Bajo. Puskesmas itu berfungsi sebagai rumah sakit Labuan Bajo karena kabupaten itu belum punya rumah sakit. Padahal, sejak tahun 2005, daerah ini sudah menjadi daerah otonom.

”Saya sudah satu tahun bekerja di Puskesmas Labuan Bajo. Masalah utama yang dihadapi di Labuan Bajo adalah pasien yang datang dari pulau yang jauh. Kami harus prioritaskan pelayanan terhadap mereka agar mereka bisa pulang lebih awal ketika gelombang laut lebih tenang,” ujar dr Melinda.

Di Labuan Bajo atau Kecamatan Komodo, sebagian besar penduduk tinggal di pulau-pulau kecil. Meski sebuah rumah sakit sudah dibangun tahun 2012, kepala dinas kesehatan setempat tersandung masalah korupsi. Akibatnya, nasib rumah sakit itu pun terbengkalai sampai hari ini. (Kornelis Kewa Ama)

—————————————————————————
Maria Yosephina Melinda Gampar
♦ Lahir: Kupang, 7 Agustus 1980
♦ Pendidikan terakhir: Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, 2006
♦ Penghargaan: Dokter teladan tingkat provinsi 2012
♦ Pekerjaan: Dokter pada Puskesmas Labuan Bajo

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com