Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Peradaban Tergeser Moderenisme, Jangan Sampai Penyakit Kontemporer Jadi Warisan

Kompas.com - 25/05/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Tren ke arah sana sudah kelihatan tanda-tandanya. Betapa sulit menemukan pisang kepok di warung kampung, ketimbang mie instan atau biskuit cokelat.

Arus industri pangan tak terkendali. Sepertinya, otoritas kesehatan yang berwenang pun tak punya kendali menentukan berapa jumlah gula dan batasan pangan rafinasi yang mampu ditoleransi tubuh manusia.

Mengapa harus negri maju seperti Inggris yang memulai regulasi, bahkan memberi peringatan asupan pangan anak? Apa salahnya bila Indonesia pun mengambil inisiatif yang sama?

Padahal, kita semua katanya berjuang melawan penyakit tak menular, yang erat dengan gaya hidup dan pola makan. Tapi begitu banyak pakar kesehatan malah permisif, mengandaikan ‘boleh-boleh saja, asal tidak terlalu sering’.

Kalimat itu barangkali tepat, bila angka kematian akibat penyakit tidak menular masih dibawah 10%. Dan orang yang diajak bicara, tahu persis istilah ‘tidak terlalu sering’ itu seberapa dan berapa kali dalam seminggu.

Tapi, dengan data 31% kematian di Indonesia pada tahun 2013 akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, maka sudah waktunya pakar kesehatan lebih konsisten untuk kembali ke peradaban makan yang sesungguhnya.

Tidak banyak yang paham tentang istilah ‘makanan sungguhan’ untuk kebutuhan manusia sesungguhnya dan ‘makanan budaya’ yang muncul akibat perjalanan evolusi budaya – bukan karena dibutuhkan tubuh. Melainkan, karena dicandukan lidah dan mendongkrak pasar di era industri.

Padahal, manusia tidak lahir dari atas ban berjalan. Kita lahir terbungkus kantung ari-ari, bukan kantung plastik. Kearifan untuk mengakui hukum kodrat dan kebutuhan kodrati seakan sudah lenyap.

Makan disejajarkan hanya sebagai kebutuhan fisik belaka, yang bisa dihitung lewat ilmu kalori dan teori gizi. Seakan, makanan asli ciptaan Tuhan sudah tersaingi oleh buatan manusia.

Rasanya tidak salah jika ada yang pernah mengatakan bahwa, 80% benda yang disebut ‘makanan’ pada rak-rak toko swalayan, sebenarnya 100 tahun yang lalu tidak pernah ada.

Jadi, betapa mengenaskan bila sebagian besar penyakit tak menular sebenarnya merupakan fenomena seberapa bagusnya kerja sama pemangku kebijakan dan penyedia layanan kesehatan.

Bukan saja demi pemangkasan borosnya biaya berobat, tapi terlebih pencegahan jatuhnya semakin banyak korban akibat pembiaran.

Bila peradaban manusia beribu tahun yang lalu telah mewariskan Borobudur dan Tembok Besar Tiongkok yang begitu dikagumi, lalu peradaban kita hari ini meninggalkan apa bagi generasi sekian abad mendatang? Penyakit kontemporer?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com