Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/01/2017, 14:00 WIB

Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita baru tuberkulosis kedua terbanyak di dunia setelah India. Ini ironis bagi Indonesia sebagai negara tropis karena kuman tuberkulosis bisa mati jika lama terpapar sinar matahari. Perlu usaha tak biasa untuk mengeliminasi penyakit infeksi yang ada sejak ribuan tahun lalu itu.

Seperti dikutip New York Times, 16 Oktober 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus tuberkulosis (TB) baru di dunia naik dari 9,6 juta setahun jadi 10,4 juta setahun.

Sekitar 60 persen kasus baru TB dari India disusul Indonesia, Tiongkok, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan dengan seperempat kasus dunia disumbang India. Estimasi kasus TB di India naik dari 2,2 juta pada 2014 menjadi 2,8 juta pada 2015.

TB ialah satu dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia tahun 2015, lebih besar dari kematian akibat HIV dan malaria. Kematian akibat TB secara global diperkirakan 1,8 juta kasus dan 0,4 juta di antaranya koinfeksi dengan HIV.

Di Indonesia, diperkirakan kasus baru TB 460.000 kasus per tahun. Ada sekitar 136.000 kasus belum terdeteksi. Namun, wajah beban TB sesungguhnya ternyata lebih besar dari itu.

Dengan metode pengukuran lebih sensitif, yakni foto toraks dan kultur bakteri, jumlah kasus baru TB di Indonesia diperkirakan 1 juta pasien per tahun, dua kali dari yang diketahui selama ini atau 10 persen dari kasus baru TB di dunia.

Fakta itu jadi bukti, di tengah transisi epidemiologi di Indonesia, beban penyakit menular masih tinggi. Meski penyebab kematian kini didominasi penyakit tak menular, beban kasus TB dan kematian yang diakibatkannya besar.

Direktur Jenderal WHO Margaret Chan dalam pernyataan tertulis di situs resmi WHO mengatakan, negara-negara di dunia harus meningkatkan upaya pencegahan, deteksi, dan pengobatan TB secara masif. Jika tak ada penanganan menyeluruh dan masif, epidemi TB terus jadi beban dan target yang ditetapkan sulit tercapai.

Wakil Ketua Komisi Ahli Tuberkulosis yang juga dosen di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Erlina Burhan, memaparkan, dengan penanganan TB selama ini, yakni terapi diberikan hanya pada mereka yang terinfeksi, target eliminasi TB tahun 2035, kasus kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk, akan sulit tercapai.

Untuk mencapai target eliminasi, pemerintah harus mengubah strategi pengendalian TB jadi lebih progresif dan inovatif.

Upaya itu bisa dimulai dengan melacak latar belakang dan lingkungan sekitar penderita untuk mengetahui orang sekitar pasien yang terinfeksi TB. Upaya lain menekan angka kesakitan dan kematian akibat TB ialah memberi terapi bagi mereka yang laten TB untuk mencegah penyebaran penyakit itu.

Laten tuberkulosis

Mereka yang laten TB ialah orang dewasa terinfeksi kuman TB, tetapi belum ada gejala. Adapun mereka yang berisiko tinggi terinfeksi laten TB ialah orang dengan HIV, penyandang diabetes melitus, pasien cuci darah rutin, atau mendapat terapi steroid. Mereka harus jadi prioritas terapi TB.

"Satu dari tiga orang yang terpapar kuman TB akan jadi laten TB. Lalu, satu dari 10 mereka yang laten TB jadi TB aktif," kata Erlina.

Tuberkulosis adalah penyakit menular akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularannya lewat udara atau percikan dahak penderita. Saat batuk, bersin, berbicara, atau meludah, pasien TB memercikkan kuman ke udara.
Seseorang yang terdiagnosis TB berstatus tuberkulosis basil tahan asam (BTA) positif bisa menularkan pada minimal 10-15 orang per tahun.

Lebih dari sepertiga populasi dunia pernah tertular kuman TB, tetapi tak sakit. Saat daya tahan tubuh seseorang turun, kuman TB yang "tidur" itu aktif dan menimbulkan sakit. Tuberkulosis laten patut diwaspadai.

Kalau tak ada pencetus, kuman TB akan dorman dalam tubuh. Masa inkubasinya bisa berpuluh tahun. Bahkan, jika daya tahan tubuh bagus, seseorang dengan kuman TB di tubuhnya tak sakit TB sampai akhir hayat.

Jumlah kasus TB adalah refleksi wajah sosial ekonomi masyarakat. Sebenarnya, kuman TB bisa mati jika terpapar sinar matahari. Namun, kasus TB justru banyak di negeri ini yang berlimpah sinar matahari.

Ilustrasi.
Perilaku hidup bersih

Terkait hal itu, perlu perubahan perilaku warga agar hidup bersih. Misalnya, menutup mulut saat bersin, batuk tak sembarangan, dan biasakan pakai masker saat sakit. Warga seharusnya menerima jika petugas kesehatan memeriksa ke rumah.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh mengakui, kasus TB tinggi meski berbagai upaya dilakukan. Bahkan, bebannya kian besar seiring muncul kasus TB yang sulit diobati karena bakteri Mycobacterium tuberculosis kebal antibiotik.

Untuk itu, Kemenkes akan menindaklanjuti tingginya kasus TB dengan penyediaan alat diagnostik, terutama di puskesmas. Harapannya, lebih banyak kasus baru TB teridentifikasi di fasilitas layanan kesehatan primer.

Selain itu, sistem pelaporan akan dibenahi demi menekan kasus tak terlaporkan, khususnya yang tercatat di fasilitas kesehatan swasta. Tidak terlaporkannya kasus TB di fasilitas kesehatan swasta turut menyebabkan kasus TB masih tinggi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu menambahkan, upaya menemukan kasus TB secara aktif dilakukan lewat program TOSS (Temukan dan Obati Sampai Sembuh) TB.

Siapa pun terdeteksi positif TB diobati hingga tuntas. Namun, banyak pasien TB putus obat sehingga kuman TB jadi kebal antibiotik dan tetap jadi sumber penularan. (ADHITYA RAMADHAN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul "Ironi Negeri yang Berlimpah Sinar Matahari".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com