Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Mengurangi Asupan Gula

Kompas.com - 28/04/2023, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebagai perbandingan prevalensi obesitas di Amerika Serikat adalah dua per tiga.

Obesitas jelas berkaitan dengan asupan makanan. Kalangan ahli gizi menyimpulkan bahwa 80 persen obesitas dipengaruhi oleh pola makan, sedangkan 20 persen dipengaruhi oleh aktivitas fisik (Kompas.id, 30/7/2018).

Pola makan yang keliru itu antara lain mengonsumsi gula dan karbohidrat lain, seperti nasi, terlalu banyak.

Gula dan nasi yang masuk ke dalam tubuh diolah oleh hormon insulin yang diproduksi kelenjar pankreas menjadi glukosa.

Glukosa dikirim ke seluruh bagian tubuh sebagai energi. Glukosa yang berlebih disimpan sebagai cadangan energi dalam hati dan otot. Lemak dalam otot inilah yang membuat tubuh menjadi gemuk.

Glukosa yang berlebih membuat produksi insulin terganggu, dan menyebabkan insulin menjadi resisten.

Mengutip artikel Mechanism Linking Diabetes Mellitus and Obesity, “Jumlah asam lemak nonesterifikasi, gliserol, sitokin, penanda proinflamasi dan zat-zat lain yang terlibat dalam perkembangan resistensi insulin pada orang dengan kelebihan berat badan mengalami peningkatan.” (cnnindonesia.com, 28/9/2020).

Data Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi penderita diabetes di Indonesia berdasarkan pemeriksaan gula darah cenderung terus meningkat, dari 5,7 persen (2007) menjadi 6,9 persen (2013), kemudian menjadi 8,5 persen (2018).

Prevalensi ini menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi keenam di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko. Penderita diabetes tercatat sebanyak 10,7 juta orang pada 2019 (Kompas.id, 7/2/2023).

Gagal ginjal pada anak

Kejadian gagal ginjal pada anak yang terkuak beberapa bulan lalu membuka fakta bahwa kasus diabetes pada anak telah meningkat pesat, sebagaimana dilaporkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yaitu 70 kali lipat antara 2010 hingga Januari 2023.

Sebagian besar (90 persen pada 2019) kasus pada anak merupakan diabetes melitus tipe 1 (DM-1), selebihnya diabetes melitus tipe 2 (DM-2).

Seperti dikutip Litbang Kompas (7/2/2023), penderita DM-1 memerlukan terapi insulin secara rutin seumur hidup untuk menjaga kadar gula tetap terkontrol.

Sedangkan DM-2 terjadi karena sel-sel tubuh kurang sensitif sehingga tidak bisa mengoptimalkan insulin meskipun produksinya normal.

Sangat mungkin penyebab gagal ginjal pada anak-anak itu terkait dengan populernya berbagai minuman kreasi baru yang digemari.

Menurut Channel News Asia, minuman boba mengandung lebih banyak gula dibandingkan minuman soda yang dikenal mengandung banyak gula.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau