INDONESIA masih berjuang melawan stunting, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis di masa kanak-kanak.
Di sisi lain, angka obesitas terus meningkat, mengancam kesehatan masyarakat di usia produktif.
Dua kondisi ini mungkin terdengar berlawanan, tetapi keduanya adalah bagian dari masalah yang sama: malnutrisi ganda.
Stunting dan obesitas sering dianggap sebagai masalah yang berdiri sendiri. Stunting identik dengan ketidakcukupan gizi dan kemiskinan.
Sedangkan obesitas diasosiasikan dengan konsumsi berlebihan dan gaya hidup tidak sehat. Namun, kenyataannya lebih kompleks.
Baca juga: Mengapa Diet Intermiten Gagal?
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa 21,6 persen anak di Indonesia masih mengalami stunting. Sementara angka obesitas pada orang dewasa meningkat menjadi 35,4 persen.
Ini bukan sekadar anomali, melainkan gejala dari sistem pangan dan pola konsumsi yang bermasalah.
Faktor utama di balik malnutrisi ganda ini melibatkan pola makan berbasis makanan ultra proses, kesenjangan ekonomi, serta minimnya edukasi gizi.
Keluarga yang mengalami keterbatasan ekonomi sering kali memilih makanan murah dengan kandungan kalori tinggi, tetapi miskin zat gizi, seperti mie instan, gorengan, dan minuman manis.
Hasilnya, anak-anak kekurangan nutrisi esensial di usia emas. Sementara orang dewasa mengalami kelebihan kalori yang tidak seimbang dengan aktivitas fisik.
Salah satu paradoks terbesar dalam krisis ini adalah harga makanan sehat yang tidak terjangkau dibandingkan makanan cepat saji dan olahan.
Harga protein berkualitas seperti ikan, daging, atau susu lebih mahal dibandingkan dengan camilan manis atau minuman tinggi gula.
Baca juga: Mengenal Enzim Ghrelin dan Pengaruhnya terhadap Obesitas
Paket makanan cepat saji Rp 25.000 memberikan 600-800 kalori, tetapi hampir tanpa serat atau vitamin. Sementara seporsi ikan, sayur, dan nasi merah yang lebih seimbang bisa dua kali lipat lebih mahal.
Ketika akses terhadap makanan sehat terbatas, banyak keluarga akhirnya memilih makanan yang "mengenyangkan", bukan bernutrisi.
Ini menjelaskan mengapa Indonesia memiliki anak-anak yang bertubuh pendek akibat kurang gizi, tetapi juga orangtua yang mengalami obesitas dengan risiko diabetes dan penyakit jantung.