Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Puspita Wijayanti
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Malnutrisi Ganda: Saat Stunting dan Obesitas Berjalan Beriringan

Kompas.com - 14/02/2025, 18:03 WIB
1
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA masih berjuang melawan stunting, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis di masa kanak-kanak.

Di sisi lain, angka obesitas terus meningkat, mengancam kesehatan masyarakat di usia produktif.

Dua kondisi ini mungkin terdengar berlawanan, tetapi keduanya adalah bagian dari masalah yang sama: malnutrisi ganda.

Stunting dan obesitas sering dianggap sebagai masalah yang berdiri sendiri. Stunting identik dengan ketidakcukupan gizi dan kemiskinan.

Sedangkan obesitas diasosiasikan dengan konsumsi berlebihan dan gaya hidup tidak sehat. Namun, kenyataannya lebih kompleks.

Baca juga: Mengapa Diet Intermiten Gagal?

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa 21,6 persen anak di Indonesia masih mengalami stunting. Sementara angka obesitas pada orang dewasa meningkat menjadi 35,4 persen.

Ini bukan sekadar anomali, melainkan gejala dari sistem pangan dan pola konsumsi yang bermasalah.

Faktor utama di balik malnutrisi ganda ini melibatkan pola makan berbasis makanan ultra proses, kesenjangan ekonomi, serta minimnya edukasi gizi.

Keluarga yang mengalami keterbatasan ekonomi sering kali memilih makanan murah dengan kandungan kalori tinggi, tetapi miskin zat gizi, seperti mie instan, gorengan, dan minuman manis.

Hasilnya, anak-anak kekurangan nutrisi esensial di usia emas. Sementara orang dewasa mengalami kelebihan kalori yang tidak seimbang dengan aktivitas fisik.

Salah satu paradoks terbesar dalam krisis ini adalah harga makanan sehat yang tidak terjangkau dibandingkan makanan cepat saji dan olahan.

Harga protein berkualitas seperti ikan, daging, atau susu lebih mahal dibandingkan dengan camilan manis atau minuman tinggi gula.

Baca juga: Mengenal Enzim Ghrelin dan Pengaruhnya terhadap Obesitas

Paket makanan cepat saji Rp 25.000 memberikan 600-800 kalori, tetapi hampir tanpa serat atau vitamin. Sementara seporsi ikan, sayur, dan nasi merah yang lebih seimbang bisa dua kali lipat lebih mahal.

Ketika akses terhadap makanan sehat terbatas, banyak keluarga akhirnya memilih makanan yang "mengenyangkan", bukan bernutrisi.

Ini menjelaskan mengapa Indonesia memiliki anak-anak yang bertubuh pendek akibat kurang gizi, tetapi juga orangtua yang mengalami obesitas dengan risiko diabetes dan penyakit jantung.

Konsekuensi dari malnutrisi ganda lebih dari sekadar angka di timbangan. Stunting berdampak pada perkembangan kognitif yang lebih rendah, berujung pada produktivitas kerja yang lebih rendah di masa depan.

Sementara obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan stroke, membebani sistem kesehatan dan ekonomi negara.

Dua masalah ini menciptakan lingkaran setan: anak yang tumbuh dengan gizi buruk memiliki risiko lebih besar mengalami obesitas saat dewasa, terutama jika terbiasa dengan pola makan tinggi gula dan lemak sejak dini.

Baca juga: Ancaman Penghentian Hibah Global Fund, Indonesia Siap Menanggung Biayanya?

Menghentikan siklus malnutrisi ganda

Mengatasi malnutrisi ganda bukan sekadar meningkatkan akses terhadap makanan sehat, tetapi juga mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat.

Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:

Pertama, subsidi makanan bergizi. Jika makanan olahan murah karena produksi massal, makanan sehat juga harus didukung dengan kebijakan harga yang kompetitif.

Subsidi untuk protein hewani, sayur, dan buah lebih strategis dibanding sekadar menekan harga beras.

Kedua, regulasi industri pangan. Batasi kandungan gula, garam, dan lemak trans pada produk makanan olahan, serta berlakukan label gizi yang lebih transparan.

Jika rokok memiliki peringatan kesehatan, makanan tinggi gula dan lemak seharusnya diperlakukan sama.

Ketiga, edukasi gizi yang masif. Pendidikan gizi harus dimulai sejak dini, termasuk dalam kurikulum sekolah. Kesadaran terhadap pola makan sehat harus ditanamkan sejak kecil agar tidak terbawa hingga dewasa.

Keempat, revitalisasi program pangan lokal. Ketahanan pangan berbasis produksi lokal bisa menjadi solusi, memastikan akses terhadap makanan bergizi tanpa bergantung pada produk olahan impor.

Baca juga: Menata Ulang Kebijakan BPJS: Membatasi Klaim Melahirkan

Jika kita tidak segera mengambil langkah nyata, Indonesia bisa menghadapi generasi yang tidak kompetitif akibat kombinasi defisit kognitif dari stunting dan tingginya beban penyakit akibat obesitas.

Ini bukan sekadar isu kesehatan, tetapi juga tantangan ekonomi dan ketahanan nasional.

Perbaikan pola makan dan kebijakan pangan yang lebih berpihak pada kesehatan masyarakat adalah kunci untuk keluar dari jebakan malnutrisi ganda.

Kita tidak bisa membiarkan satu generasi tersandera oleh makanan murah yang mahal akibat dampak jangka panjangnya.

Negara dengan generasi sehat dan produktif adalah negara yang siap menghadapi persaingan global. Saatnya memperlakukan kesehatan sebagai investasi, bukan sekadar biaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

1
Komentar
setuju untuk menerapkan cukai pada makanan kemasan tinggi karbo/ gula dan lemak trans (bukan semua jenis lemak, hanya lemak trans saja).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
[FULL] Kapolri soal Pantauan Arus Mudik Lebaran 2025: Fatalitas dan Keamanan Lebih Baik dari Tahun
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi Akun
Proteksi akunmu dari aktivitas yang tidak kamu lakukan.
199920002001200220032004200520062007200820092010
Data akan digunakan untuk tujuan verifikasi sesuai Kebijakan Data Pribadi KG Media.
Verifikasi Akun Berhasil
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau