KOMPAS.com - Mendaki gunung adalah salah satu kegiatan menantang yang dapat dilakukan untuk melepas penat.
Melalui kegiatan ini pendaki dapat menikmati keindahan alam meski harus melewati perjalanan yang melelahkan dan penuh rintangan.
Namun bagi beberapa orang, kegiatan mendaki gunung berisiko menyebabkan penyakit ketinggian (altitude sickness) atau yang juga dikenal dengan mabuk gunung.
Baca juga: Penyakit Ketinggian Datang Saat Mendaki Gunung Begini Baiknya...
Penyakit ini biasanya terjadi pada ketinggian lebih dari 8.000 kaki atau 2.500 meter di atas permukaan laut akibat kekurangan oksigen.
Altitude sickness berisiko terjadi pada orang yang tidak terbiasa berada di ketinggian.
Kondisi ini cukup serius dan dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak mendapat penanganan yang tepat.
Melansir Web MD, terdapat tiga jenis altitude sickness, yakni:
Dilansir dari Medical News Today, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan gejala, di antaranya:
Baca juga: 6 Hal yang harus Diperhatikan Sebelum Mendaki Gunung
Berikut gejala penyakit ketinggian:
Jika mengalami altitude sickness yang parah seperti HAPE atau HACE, gejala yang dirasakan diantaranya:
Gejala-gejala tersebut biasanya muncul dalam 12 hingga 24 jam setelah mencapai ketinggian yang lebih tinggi.
Gejala tersebut dapat membaik dalam satu atau dua hari setelah tubuh dapat menyesuaikan diri dengan perubahan ketinggian.
Baca juga: Kiat Menghindari Cedera Saat Lari di Gunung
Penyebab utama altitude sickness adalah terlalu cepat mendaki ketinggian dan menyebabkan adanya perbedaan tekanan udara dan tingkat oksigen dalam waktu singkat.
Tinggal atau berada di ketinggian dalam waktu yang lama membuat tubuh akan terbiasa dengan tekanan udara.
Namun, jika bepergian ke tempat yang lebih tinggi dapat berisiko terkena altitude sickness karena tubuh perlu waktu untuk menyesuaikan dengan perubahan tekanan.
Tubuh manusia setidaknya memerlukan 1 hingga 3 hari untuk menyesuaikan diri dengan perubahan ketinggian.
Hal ini menyebabkan orang yang berada di tempat ketinggian baru dalam waktu singkat lebih berisiko terkena mabuk gunung atau penyakit ketinggian ini.
Melansir Cleveland Clinic, penderita yang mengalami sakit kepala dan diikuti gejala lain disertai mengunjungi tempat yang lebih tinggi dalam 24 hingga 48 jam, kemungkinan besar mengalami altitude sickness.
Untuk mengatasi hal tersebut penderita harus segera mengakhiri pendakian dan beristirahat sampai gejala mereda atau hilang.
Penderita juga dapat meredakan gejala dengan turun ke ketinggian yang lebih rendah.
Baca juga: Cerita Adinda Thomas, Alami Halusinasi Saat Mendaki Gunung...
Jika gejala semakin parah dan memerlukan penanganan medis, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan pada dada dengan stetoskop atau rontgen.
Dokter juga dapat melakukan MRI atau CT Scan pada otak atau dada untuk melihat adanya cairan dan melakukan pemeriksaan kadar oksigen dengan alat pulse oximetry.
Pada mabuk ketinggian derajat ringan dapat melanjutkan pendakian dengan kecepatan yang lebih pelan.
Bagi penderita altitude sickness derajat lebih berat harus beristirahat, mengonsumsi banyak cairan, dan berhenti merokok.
Beberapa cara di bawah ini dapat dilakukan untuk mengatasi altitude sickness, yakni:
Baca juga: Apa Saja Persiapan Bersepeda Gunung bagi Pemula?
Altitude sickness dapat dicegah dengan melakukan pendakian secara bertahap agar tubuh dapat beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan tingkat oksigen.
Selain itu, beberapa cara di bawah ini dapat dilakukan untuk mencegah altitude sickness saat melakukan pendakian:
Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.