KOMPAS.com- 
JIKA ingin menyantap hidangan bebek peking di Beijing, China, terutama pada malam hari, siapa pun harus siap melakukan sedikit upaya dan ”perjuangan”. Selain harus menunggu, mengantre makanan hingga sekitar satu jam bahkan lebih, atau berpindah restoran mencari antrean terpendek, Anda juga harus merogoh saku lebih dalam. Setiap ekor bebek peking dihargai 100-300 yuan atau sekitar Rp 200.000 hingga Rp 600.000!

Bagi warga Beijing yang cukup mengeluarkan 20-25 yuan untuk sekali makan, harga satu ekor bebek itu jelas mahal. Tidak merasa sayang mengeluarkan banyak uang untuk makanan, sesuatu yang bahkan hanya cukup dinikmati dalam jangka waktu kurang dari dua jam?

Shan Hong (33) menggeleng kuat-kuat. ”Makan bebek peking adalah salah satu dari kesenangan hidup. Jadi, nikmati saja,” ujar wanita yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu wisata di Beijing itu sembari tersenyum lebar.

Selama ratusan tahun, menurut dia, bebek peking terus menjadi hidangan favorit masyarakat Beijing. Mereka menyukai cita rasa dagingnya yang demikian gurih.

Hal ini bisa dibuktikan di restoran bebek peking Quan Ju De. Restoran yang sudah berusia 300 tahun ini selalu dipadati ratusan pengunjung setiap harinya, yang sering kali juga harus mengantre, dengan panjang antrean mencapai hingga 10 meter.

Shan mengatakan, masyarakat China memang gemar makan enak. Hidangan yang lezat, sekalipun mahal, dianggap menjadi ”bayaran” yang pantas untuk kerja keras mereka setiap hari.

”Karena kita sudah bekerja keras, kenapa kemudian kita harus pelit untuk menyenangkan diri sendiri?” ujarnya.

Kelezatan, cita rasa makanan, memang menjadi hal penting untuk dinikmati. Tak heran, demi ”meresapi” rasanya, setiap orang di China pun terbiasa untuk menikmati setiap lauk, setiap jenis hidangan, satu demi satu.

Dalam aktivitas ini, nasi, si sumber karbohidrat, akhirnya terpaksa ”mengalah”. Jika di Indonesia nasi menjadi makanan utama, paduan untuk menyantap lauk, maka di China nasi tetap dinikmati sendiri di bagian akhir, setelah orang yang bersangkutan puas menyantap setiap jenis lauk-pauk yang ada.

Feng Huan (32), warga Beijing, mengatakan, menyantap nasi di awal makan atau memadukannya dengan lauk adalah hal yang tidak tepat dilakukan karena akan mengurangi kenikmatan makan.

”Makan nasi di awal atau bersama lauk hanya akan membuat kita cepat kenyang dan membuat kita sulit menikmati rasa dari lauk-pauk yang sudah terhidang,” ujarnya. Nasi yang hanya berfungsi ”membantu” mengenyangkan terkadang juga diganti dengan mi.

Di restoran yang khusus menyajikan chinese food, di meja akan langsung dihidangkan beragam jenis olahan kacang-kacangan atau acar—semuanya dalam mangkok-mangkok kecil— yang dimaksudkan sebagai hidangan pembuka atau appetizer dan baru setelah itu dilanjutkan dengan makanan berikutnya. Sekalipun memesan menu lebih dari satu, setiap hidangan akan tersaji satu demi satu, dengan jeda sebentar sebelum disajikan masakan berikutnya. Di waktu jeda inilah setiap orang dapat benar-benar mengenali, menikmati cita rasa dari makanan yang tersaji.

Djulianto Susantio, pemerhati budaya oriental di Jakarta, di dalam blognya menyatakan, dalam ilmu feng shui, makanan dianggap menjadi komponen kehidupan yang sangat penting karena dari sanalah setiap manusia beroleh hasil dan kesehatan. Dengan mengolahnya secara baik, nantinya akan didapatkan makanan lezat dan bergizi yang memberikan energi positif, membuat semua pekerjaan terselesaikan lebih baik, dan setiap usaha yang dijalankan akan meraup lebih banyak keuntungan.

Tak heran, orang Tionghoa juga menganggap bahwa kompor dan dapur sebagai sumber kebahagiaan dalam kehidupan.

Makan sehat

”Mengesampingkan nasi” bukan berarti menjadikan warga China sebagai pembenci karbohidrat. Sebaliknya, mereka pun memiliki cara tersendiri untuk menikmatinya, yaitu dengan mengolah aneka umbi-umbian dan beragam sumber karbohidrat lainnya menjadi jus. Jadi, jangan heran jika masuk ke restoran di China dan menemukan menu minuman yang sedikit aneh seperti jus jagung, jus biji-bijian serealia (whole grain), jus taro (sejenis talas, berwarna ungu), dan jus kentang! Jus jagung ini bahkan juga bisa ditemui dan menjadi salah satu menu di sebuah restoran piza waralaba internasional.

Jus berkarbohidrat ini juga banyak dijual di kedai-kedai yang dinikmati sembari berjalan kaki oleh mereka yang terburu-buru dan tidak bisa meluangkan waktu untuk sarapan di rumah. Khusus untuk jus yang tidak terbuat dari buah-buahan itu, selalu disajikan dalam kondisi hangat, bahkan panas.

Tidak ada alasan khusus kenapa mereka menyukai jus-jus semacam itu, kecuali karena menyehatkan.

”Dalam satu hari, kita harus bekerja dan banyak beraktivitas. Tentu saja kita hanya menginginkan hal-hal yang baik bagi tubuh, makanan yang mengenyangkan, sekaligus menyehatkan,” ujar
Shan Hong.

Di satu sisi, kenapa mereka mengolah beragam bahan menjadi minuman, mungkin juga karena masyarakat China tidak terlalu menyukai air putih. Minuman wajib di saat makan hanyalah teh, yang terkadang juga diseduh dalam botol agar bisa diminum sewaktu-waktu. Terkadang, yang disebut minuman untuk sekadar melapangkan jalan makanan di tenggorokan hanyalah semangkuk sup atau congee, semacam bubur (terkadang tanpa rasa), dengan komposisi air lebih banyak dari bubur ayam yang biasa kita nikmati di Indonesia.

Shan Hong misalnya, dia terbiasa menikmati semacam kebab, gulungan kulit lumpia yang diisi telur, bawang, dan sayuran—disebut pancake—dan segelas plain congee, congee tanpa rasa sebagai minuman. Jadi, bayangkan, betapa kenyangnya!

Makan bersama

Menikmati, mendalami cita rasa, menjadi hal yang penting karena bagi mereka, makan adalah aktivitas penting, bagian dari cara menikmati hidup. Sebegitu pentingnya karena dalam acara yang mengenyangkan tubuh itu, setiap orang juga mendapatkan ”asupan” bagi jiwa, melalui komunikasi dengan teman atau keluarga yang menemani mereka makan.

”Makan di restoran atau di rumah selalu menjadi ajang bagi kami untuk berkumpul, berkomunikasi santai dengan keluarga atau teman-teman,” ujar Feng.

Tak heran, banyak restoran, terutama di malam hari, selalu penuh. Restoran chinese food selalu memakai meja bundar dengan lazy susan, istilah untuk baki bulat yang dapat diputar-putar di atasnya. Di atas susan yang pemalas inilah setiap hidangan akan diletakkan, dan setiap orang bisa berebut mengambil makanan sembari bercengkerama dan mengobrol.

Saat berkumpul bersama, sembari memutar si Susan, setiap orang akan saling mengincar, berupaya mendapatkan setiap keping makanan terenak sebelum dihabiskan oleh teman atau saudara yang duduk berseberangan. Dan, hap! Siapa cepat dia dapat!

Makan bersama juga memberikan nilai positif lain. Marisa Moore, perwakilan dari American Dietetic Association, seperti dikutip dari Forbes, mengatakan, sekitar 58 orang Amerika cenderung makan sendiri, dan hasilnya adalah mereka menjadi kurang menikmati makanan yang disantap. Tidak hanya itu, makan bersama dengan beragam aktivitas sosial yang ada di dalamnya ternyata juga berdampak bagus untuk pencernaan.

”Mengobrol dengan rekan, keluarga, atau kekasih saat makan bersama akan memberikan waktu jeda di dalam perut sehingga makanan tercerna dan terserap dengan baik oleh tubuh,” ujarnya.

Banyak kebaikan dan kebahagiaan datang dari aktivitas sederhana: makan. Jadi, apakah Anda sudah cukup bahagia setelah beberapa kali makan hari ini? (REGINA RUKMORINI)