Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/10/2016, 09:03 WIB
Adhis Anggiany Putri S

Penulis


KOMPAS.com – Diet tak bisa dilakukan sembarangan kalau ingin sukses menurunkan berat badan. Manusia punya karakter tubuh berbeda, sehingga satu jenis program diet belum tentu sama ampuhnya bagi setiap orang.

Pengalaman tersebut dibuktikan pendiri bisnis kuliner Baba Rafi Enterprise, Hendy Setiono (33 tahun). Selama 10 tahun, berat badan Hendy terus naik, sampai akhir 2015 bobotnya mencapai 103 kilogram.

"Awalnya saya makan tanpa kontrol, apa saja yang saya suka, saya makan. Sudah coba beberapa program diet tapi enggak sukses," kata Hendy kepada Kompas.com, Selasa (20/9/2016).

Masalahnya, seseorang bisa lebih mudah gemuk akibat faktor genetik. Setiap manusia memiliki deoxyribonucleic acid (DNA) unik yang turut memengaruhi cara tubuh mengolah makanan.

Karena itu, tes DNA dapat menjadi salah satu cara untuk mengetahui dengan pasti potensi bentuk tubuh seseorang.

Menurut spesialis penurunan berat badan dari klinik Lighthouse, Grace Judio, pengecekan DNA sangat penting untuk mengetahui pola diet dan tingkat keberhasilannya sesuai karakter tubuh.

"Tes DNA berfungsi mengecek adakah mutasi gen dalam tubuh seseorang yang membuatnya cepat gemuk atau sulit langsing," ucap Grace seperti dikutip situs web lighthouse-indonesia.com, Sabtu (21/5/2016).

Lewat uji DNA, lanjut Grace, bisa diketahui apakah seseorang lebih cocok melakukan diet rendah karbohidrat, lemak, atau kalori. Selain itu, akan terlacak juga respons tubuh terhadap makanan, pola penyerapan dan penyimpanan lemak, serta tendensi kenaikan berat badan.

Karena sempat mencoba berbagai diet tetapi gagal menurunkan berat badan, Hendy akhirnya memutuskan melakukan tes DNA. Dia ingin mencari program diet yang sesuai karakter tubuh dan kebiasaan. Harapannya, tentu saja, berat badannya turun.

"Lewat tes DNA saya jadi tahu karakter tubuh saya, tahu kenapa berat badan naik. Saya ternyata gampang gemuk kalau makan makanan berlemak dan berminyak," kata Hendy yang mencoba tes DNA di klinik penurunan berat badan Lighthouse.

THINKSTOCKPHOTOS Kode genetik turut memengaruhi pola kerja tubuh mengolah makanan. Misalnya, beberapa orang lebih sensitif terhadap makanan berlemak, lainnya mungkin mudah gemuk jika mengonsumsi karbohidrat terlalu banyak.

Setelah diketahui penyebab kegemukannya, Hendy diberi serangkaian program diet berdasarkan hasil tes DNA tersebut. Hasilnya, dia bisa menurunkan 18 kilogram berat badan dalam waktu tiga bulan. Beberapa bulan kemudian, berat badannya turun lagi 5 kilogram.

“Dulu ukuran baju saya XXL, sekarang jadi L atau M,” ujar Hendy sumringah.

Selama tiga bulan menjalani program diet, Hendy menghindari sama sekali konsumsi gula, minyak, dan tepung. Kecap dan saus tomat pun sebisa mungkin ia hindari.

"Dulu biasanya saya minum teh manis setiap pagi. Sekarang jadi minum teh tawar," ucap Hendy yang mengaku sampai sekarang terus menjaga pola makan agar berat badannya tetap stabil.

Selain menjaga makanan, Hendy juga melakukan olahraga lari menggunakan treadmill selama 15 menit setiap hari. Dia rutin berenang pula, setidaknya sekali dalam dua hari.

Menjaga motivasi

Pengalaman serupa dialami juga oleh Larasaty Aprilia (27 tahun). Menggunakan langkah yang sama, dia bisa menurunkan 18 kilogram berat badan dalam tiga bulan.

Berdasarkan hasil tes DNA di klinik sama, Larasaty boleh mengonsumsi nasi asal porsinya sesuai. Namun, ia harus menghindari konsumsi lemak sama sekali. Ketika ingin makan ayam bakar, misalnya, Larasaty tidak boleh mengoleskan mentega pada ayam.

"Nasi goreng sih boleh. Kalau steak sapi sausnya harus dipisah supaya bisa dikontrol konsumsi sausnya," kata Larasaty saat dihubungi Kompas.com, Selasa (20/9/2016).

Pada awal program diet, ia mengaku sempat kesulitan mencari makanan sehat. Kebiasaan Larasaty makan di "warteg" mau tak mau harus dihentikan juga.

"Saya termasuk overweight (sebelum diet), masuk obesitas tingkat dua. Sebelum diet, berat badan saya 82 kilogram," ungkap Larasaty.

Larasaty mengaku sudah gemuk sejak kecil. Berat badannya kian menanjak ketika dia duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).

Selulus SMA, kuliah, kemudian bekerja, lingkar pinggangnya tak kunjung mengecil. Padahal, segala macam cara pernah dia lakoni demi menurunkan berat badan.

"Saya mencoba menurunkan berat badan dengan puasa, tidak makan nasi, dan mengonsumsi sejumlah produk diet. Namun, berat badan saya justru tambah naik. Saya juga merasa tersiksa akibat menahan lapar," tutur Larasaty.

THINKSTOCKPHOTOS Penurunan berat badan akan lebih maksimal jika program diet yang dilakukan menyeluruh. Olahraga, makanan sehat, ditambah pengawasan medis dapat mempercepat proses diet.

Turun berat badan, tantangan Hendy dan Larasaty tak lalu selesai begitu saja. Selalu ada banyak godaan dan tantangan. 

Sebuah program diet bisa berhasil dilakukan salah satunya karena prosesnya dibuat lebih menyenangkan, atau setidaknya tak membuat pelaku tersiksa.

Meski demikian, motivasi pelaku diet tetap harus jadi kunci utama. Motivasi ini harus dipupuk kuat-kuat agar tidak menyerah di tengah jalan.

Karena itu, Larasaty dan Hendy tetap ditemani berbagai ahli ketika menjalani program agar motivasi tetap terjaga sekaligus terawasi. Mereka bertemu dengan ahli gizi, dokter spesialis olahraga, dan psikolog, sepekan sekali.

"Mereka (para ahli) monitoring pola makan, menjelaskan tentang eating disorder, (saya) diajari cara dan jam makan yang benar," kata Larasaty.

Adapun bagi Hendy bertemu dengan ahli gizi dan psikolog bisa memberikan dorongan untuk terus menjalankan program diet.

"Mereka itu seperti motivator pribadi buat saya. Saya menjalaninya jadi enjoy, tanpa stres," tutur Hendy.

Berminat mengikuti jejak Hendy dan Larasaty?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com