KOMPAS.com – Stunting masih menjadi persoalan kesehatan di Indonesia.
Angka stunting di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir memang menurun.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018.
Sementara itu, berdasarkan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang dilakukan Kemenkes pada 2019, prevalensi angka stunting mengalami penurunan lagi menjadi 27,7 persen.
Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni kurang dari 20 persen.
Pemerintah saat ini tengah berupaya menurunkan angka stunting minimal 3 persen setiap tahun hingga mencapai 14 persen pada 2014.
Guna mencapai target ini, pemerintah telah meluncurkan stratagei nasional percepatan penurunan stunting. Strategi ini menjadi prioritas pemerintah di tingkat pusat maupun daerah.
Dosen Diploma Kebidanan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Erindra Budi Cahyanto, berpendapat peran serta masyarakat sangatlah diperlukan guna menyukseskan program percepatan penurunan stunting.
Baca juga: Ancaman Anak Kerdil Kala Pandemi…
Nah, menurut dia, salah satu ujung tombak kegiatan di masyarakat yang berperan penting dalam penurunan stunting adalah pos pelayanan terpadu (posyandu) anak.
Berikut adalah beberapa kontribusi kader posyandu dalam upaya menurunkan atau mencegah stunting selama ini:
Dia menuturkan, harapannya segala kegiatan ini tentu bisa terus dilakukan selama pandemi untuk mempercepat penurunan angka stunting. Tapi pada kenyatannya, wabah virus corona memang mengharuskan banyak kegiatan posyandu tersendat.
Adanya ancaman tertular virus corona bersama dengan kebijakan dari pemerintah untuk membatasi aktivitas di luar rumah, menjaga jarak, bekerja dari rumah, memakai masker, dan protokol kesehatan (prokes) lainnya membuat banyak posyandu mengentikan sementara aktivitasnya. Hal itu pun berdampak pada tidak terpantaunya kondisi ibu hamil dan anak-anak.
“Ini adalah keadaan yang dilematis. Dengan adanya posyandu saja, angka stunting masih jauh di atas target, apalagi jika tidak ada posyandu. Tapi di sisi lain, tetap mengadakan posyandu tanpa adanya penyesuaian kebiasaan, berisiko menambah jumlah korban pandemi,” kata Erindra saat diwawancara Kompas.com, Selasa (6/4/2021).
Dia menuturkan, pendekatan sistematis sangat diperlukan guna mengatasi kondisi dilematis ini.
Semua komponen bangsa yang terlibat dalam program percepatan penurunan stunting dan pencegahan Covid-19 harus bekerja sama dalam suatu sistem guna mencari berbagai alternatif dalam kegiatan posyandu di tengah pandemi Covid-19.
Erindra mengungkapkan berdasarkan dokumen atau buku System Thinking yang dipublikasikan oleh Alliance for Health Policy and System Research dan WHO pada November 2009, setidaknya ada enam blok atau kompoten yang harus dipenuhi agar sebuah sistem yang dikembangkan bisa berdaya guna, termasuk dalam mencari alternatif dalam kegiatan posyandu kala pandemi.
Berikut keenam komponen itu:
1. Pemerintah
Fungsi pemerintah adalah pembuat kebijakan.
Erindra melihat, saat ini pemerintah melalui Kemenkes telah menerbitkan Buku Panduan Pelayanan Kesehatan Balita pada Masa Tanggap Darurat Covid-19 pada 2020.
Baca juga: 13 Makanan yang Mengandung Vitamin A Tinggi
Dalam panduan ini disebutkan apabila posyandu berada di daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun (balita) bisa dilakukan di rumah masing-masing.
Sedangkan apabila pemerintah daerah tidak memberlakukan PSBB atau kasus Covid-19 negatif, maka kegiatan posyandu bisa dijalankan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Kondisi PSBB dan kasus Covid 19 di berbagai tempat di Indonesia sendiri kini sangat fluktuatif. Untuk itu, update informasi kondisi pandemi harus sering disampaikan kepada masyarakat,” kata mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS itu.