KOMPAS.com – Agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah, permusuhan, atau tindakan melukai orang lain dapat terjadi pada setiap anak.
Tindakan agresi itu bisa dilakukan dengan aksi kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan.
Pada umumnya, ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu untuk membela diri di satu pihak, dan untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya di pihak lainnya.
Baca juga: Hati-hati Orangtua, Marah pada Anak Sebabkan 11 Dampak Fatal
Agresivitas atau kekerasan pada anak dalam bentuk verbal biasanya dilakukan dengan mengucap kata-kata “kotor” yang terkadang si anak sendiri tidak mengerti maknanya.
Sementara, agresi dalam bentuk tindakan fisik kerap berupa menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan bahkan membunuh.
Biasanya, sasaran perilaku agresif ini tidak lain adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, adik, kakak, pengasuh, pendidik, termasuk teman sebaya.
Melansir Buku Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya (2015) karya Riana Mashar, M.Si., Psi., agresivitas pada anak dapat berdampak secara psikologis maupun sosial.
Beberapa dampak psikologis, di antaranya yakni:
Sedangkan dampak sosial, berupa:
Secara umum, ada dua faktor yang dapat menyebabkan anak melakukan agresivitas atau tindakan kekerasan.
Kedua faktor tersebut, yakni:
1. Faktor biologis
Faktor biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) dapat berupa:
Baca juga: Mitos atau Fakta, Sering Marah Bikin Darah Tinggi?
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksteral) dapat berupa: