Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/10/2015, 14:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai terapi baru yang menjanjikan, sel punca menjadi harapan masyarakat. Namun, terbatasnya informasi membuat salah paham tentang sel punca tinggi. Akibatnya, warga menjadi korban iklan lembaga yang menawarkan terapi di dalam dan luar negeri tanpa didukung riset.

Sel punca dianggap sebagai terapi yang bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Padahal, terapi itu hanya untuk penyakit degeneratif terkait penuaan, mutasi sel, dan keganasan sel.

"Jantung koroner, pelemahan pompa jantung, diabetes melitus, stroke, parkinson, serta sejumlah kanker dan gangguan tulang bisa diterapi dengan sel punca," kata Sekretaris Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Surabaya (SRMSCC) Purwati di Jakarta, Rabu (28/10).

SRMC dibentuk Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair), dan Lembaga Penyakit Tropis Unair.

Terapi itu mulai dikembangkan di dunia pada 1996 dan di Indonesia sejak 2007. Mekanisme dasar terapi adalah memperbaiki sel-sel tubuh rusak agar berfungsi normal. Sel yang dipakai untuk memperbaiki berupa sel punca atau induk dari tubuh pasien sendiri (autologous) atau dari orang lain (allogeneic).

Ketua Konsorsium Pengembangan Sel Punca dan Jaringan Farid A Moeloek mengatakan, sel punca bisa diambil dari embrio, darah tali pusat bayi, dari sumsum tulang belakang, darah tepi, dan jaringan lemak orang dewasa.

Namun, di Indonesia, sel punca dari embrio belum dilakukan karena rentan pertentangan etika dan norma agama.

Meski demikian, terapi sel punca berisiko. Menurut Kepala Bagian Penelitian Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, yang juga pengembang terapi sel punca untuk cedera tulang rawan, Andri Lubis, risiko terapi sel punca bergantung pada jenis sel punca yang diambil.

Makin awal sel punca diambil, seperti dari embrio atau darah tali pusat, potensinya kian tinggi dan risikonya makin besar.

Sementara sel punca yang diambil pada orang dewasa, potensinya kian kecil, tetapi risikonya kecil.

"Penolakan tubuh atas sel punca yang diambil dari tubuh pasien lebih kecil dibandingkan yang diambil dari orang lain," ujarnya.

Tren masa depan

Perintis layanan sel punca berbasis riset adalah RSCM-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUD Soetomo-FK Unair. Sejak 2014, 2 RS itu jadi pengampu riset sel punca berbasis layanan di 10 RS lain, 8 di antaranya di Jawa.

"Sel punca jadi tren masa depan, menggantikan terapi konvensional dengan obat dan suntik," ucap Farid.

Kepala Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI Ismail Hadisoebroto mengatakan, terapi sel punca dilakukan sejak 2007 di lembaganya.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau