Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Kodarusman
Dokter RSUD Majalengka

Dokter, peminat kajian autofagi. Saat ini bekerja di RSUD Majalengka, Jawa Barat

Pengobatan Dini Melalui Proses Autofagi

Kompas.com - 02/08/2022, 11:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Alasan penyusunan protokol tersebut sebagai berikut. Setiap pasien yang datang dengan keluhan demam, batuk atau apapun, artinya datang dalam kondisi virus telah bereplikasi.

Replikasi virus itu mengakibatkan kerusakan sel. Kerusakan sel mengakibatkan keluarnya berbagai mediator peradangan.

Baca juga: Mengenal Autofagi, Mekanisme Sel Memakan Sel Sakit Saat Berpuasa

Pada bakteri sedari awal dapat terjadi peradangan. Beberapa bakteri memiliki kemampuan untuk merusak dinding sel dengan melepaskan peptida tertentu. Kerusakan ini yang akan memicu pelepasan mediator peradangan.

Berbagai mediator peradangan memberikan berbagai reaksi sesuai dengan reseptor organnya. Misalnya, histamin menimbulkan reaksi sesak dan batuk di saluran pernafasan. Menimbulkan pelebaran pembuluh darah hingga menimbulkan sensasi panas.

Prostaglandin memiliki efek yang serupa. Perbedaannya pada pembuluh darah paru, mengakibatkan penyempitan. Akibatnya beban jantung bertambah hingga timbul gejala mudah lelah.

Artinya, selain upaya untuk melawan virus juga harus mengatasi reaksi peradangan. Reaksi peradangan yang ditimbulkan oleh tubuh itu sendiri, bukan karena infeksi.

Untuk mengeradikasi virus atau bakteri dapat diatasi dengan mengaktifkan mekanisme autofagi kapan saja. Asalkan dalam kondisi hipoglikemia, glukagon dilepaskan. Glukagon memicu peroksisom melakukan glukoneogenesis dan lisosom melakukan autofagi.

Lisosom akan mencerna apapun yang mengandung gula. Termasuk virus dan bakteri. Begitupun peroksisom akan mencerna apapun yang mengandung lemak. Termasuk lipoprotein kapsul virus dan dinding sel bakteri.

Akibat dari glukoneogenesis adalah peningkatan kadar glukosa darah, hingga meningkatkan tekanan osmotik darah. Tekanan osmotik yang meningkat memicu perpindahan cairan ke dalam darah, hingga akan meningkatkan tekanan hidrostatik.

Laju aliran darah meningkat dan terbentuk urine yang banyak. Pengeluaran cairan (urine) harus segera diganti.

Penurunan cairan darah yang banyak (hipovolemik) dapat memicu vasopresin. Meski saat kondisi tekanan osmotik meningkat juga telah dilepaskan vasopresin. Namun waktunya tidak lama karena cepat dikompensasi oleh perpindahan cairan.

Pelepasan vasopresin akibat kondisi hipovolemik dapat berakibat fatal. Karena berlangsung lebih lama. Kecuali jika segera diatasi. Pelepasan vasopresin mengakibatkan penyempitan pembuluh darah arteri dan arteri kecil.

Penyempitan pembuluh darah arteri akan meningkatkan tekanan darah. Pada pembuluh darah jantung dapat mengakibatkan jantung kekurangan oksigen. Akibatnya terjadi gangguan irama jantung. Kondisi ini dapat berakibat fatal. Dikenal sebagai sindrom SADS.

Peroksisom dan lisosom tidak berdaya mengatasi reaksi peradangan. Butuh hormon kortisol untuk mengatasi peradangan secara alami. Selain kondisi hipoglikemia kortisol juga butuh kondisi relaks.

Kortisol pelepasannya dipengaruhi oleh growth hormon. Growth hormon dilepaskan saat seseorang mengalami istirahat yang cukup. Sangat berkaitan dengan siklus sirkadian seseorang.  Ini sebabnya mengapa jam makan harus dibatasi.  Jam makan yang terlalu dekat dengan waktu tidur akan menghambat pelepasan growth hormon.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau