Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/10/2022, 19:01 WIB

Meskipun lazim ada zat pencemar, Bimo menggarisbawahi, setiap bahan pelarut perlu proses pemurnian (purifikasi) agar cemaran etilen glikol dan dietilen glikolnya bisa diminimalkan, atau kadarnya masih di ambang batas aman yang dapat ditoleransi tubuh.

“Masalahnya di sini. Banyak pelarut murah beredar. Setelah mendapatkan gliserol atau propilen glikol, sejumlah produsen tidak membuang zat sisa etilen glikol dan dietilen glikol. Mereka nulis itu menggunakan propilen glikol atau gliserol, padahal sebenarnya masih mengandung pencemar etilen glikol dan dietilen glikol (kadar tinggi),” jelas dia.

Praktis culas melewatkan proses pemurnian zat pencemar dalam produksi bahan baku obat di hulu itu banyak dilakukan untuk menekan ongkos produksi atau demi keuntungan finansial.

“Pelarut 99,5 persen murni dan 99,8 persen murni itu saja harganya bisa beda 2-3 kali. Inilah yang menyebabkan, kenapa ada pelarut yang tercemar. Karena menggunakan bahan yang tidak dimurnikan,” kata Bimo.

“Memang sudah bagian dari reaksi, tapi produsennya karena mungkin ingin keuntungan finansial, lalu menjualnya dan mengaku kalau itu bahan murni. Ini yang kemudian menyebabkan ada cemaran (kadar tinggi) di bahan baku,” ujar Bimo.

Baca juga: Bagaimana Etilen Glikol dalam Obat Sirup Bisa Picu Gagal Ginjal Akut pada Anak?

Praktik curang mengoplos etilen glikol ke dalam pelarut yang tidak beracun

Selain karena proses pemurnian bahan pelarut sirup atau obat cair, obat sirup juga bisa mengandung etilen glikol atau dietilen glikol dengan kadar di atas ambang batas normal ketika bahan beracun ini dicampurkan ke dalam pelarut yang tidak beracun.

“Ada juga yang disengaja. Produsen mencampurkan etilen glikol dan dietilen glikol ke dalam gliserin atau propilen glikol yang sebenarnya tidak beracun,” ungkap Bimo.

Temuan praktik curang itu terungkap ketika ada kasus keracunan dietilen glikol yang merenggut nyawa 365 korban di Panama pada 2006 lalu.

Berdasarkan penelusuran rantai bahan baku obat lintas negara mulai dari Panama, beberapa negara di Eropa, sampai ke China, ternyata ditemukan produsen bahan pelarut sengaja mencampurkan gliserol dengan dietilen glikol untuk memaksimalkan margin keuntungan.

Mengingat panjangnya rantai produksi pembuatan obat yang melibatkan banyak negara, menurut Bimo, mencari akar penyebab keracunan etilen glikol atau dietilen glikol terkadang membutuhkan proses dan waktu yang cukup lama.

“Belum tentu di perusahaan obat di Indonesia, bisa jadi di distributor, atau di broker, atau di pabriknya. Itu pekerjaan sulit. Karena rantai produksi panjang sekali,” kata Bimo.

Baca juga: Kemenkes Rilis 3 Zat Berbahaya Diduga Penyebab Gagal Ginjal Akut pada Anak


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+