KOMPAS.com - Obesitas merupakan masalah kesehatan yang tidak boleh diremehkan. Lebih dari sekadar penampilan, obesitas dapat memicu berbagai penyakit kronis. Sayangnya, melakukan diet dan olahraga saja seringkali tak cukup mengatasi obesitas.
Dijelaskan oleh Dr.Gaga Irawan Nugraha Sp.GK(K), mengelola obesitas jauh lebih kompleks daripada mengurangi kalori dan memperbanyak olahraga.
"Obesitas bukan hanya masalah diet dan olahraga, tapi juga ada faktor otak. Kita perlu memahami bagaimana otak berperan dalam mengatur nafsu makan dan faktor lainnya," papar dr.Gaga dalam acara media edukasi memperingati Hari Obesitas Sedunia yang diadakan oleh Novo Nordisk Indonesia di Jakarta (1/3/2024).
Otak merupakan pusat pengaturan nafsu dan perilaku makan seseorang yang dipengaruhi oleh tiga penggerak utama, yakni homeostatic eating yang dipengaruhi oleh sinyal lapar, hedonic eating rasa lapar yang dipengaruhi keinginan atau kesenangan, dan executive function yang melibatkan pengambilan keputusan untuk makan.
“Walaupun terapi gizi medis dan aktivitas fisik merupakan dasar untuk mengelola obesitas, hal ini tidak cukup bagi banyak pasien. Kita perlu menyediakan penanganan obesitas yang lebih komprehensif di Indonesia," ujar Wakil Ketua Himpunan Studi Obesitas Indonesia (Hisobi) ini.
Baca juga: Jumlah Penderita Obesitas di Seluruh Dunia Lebih dari 1 Miliar
Untuk mengatur hormon-hormon di otak yang memengaruhi rasa lapar dan kenyang, diperlukan bantuan obat. Jika keseimbangan hormon ini terjaga, dampaknya perubahan perilaku, khususnya pola makan, lebih mudah dijalankan.
Menurut dr.Gaga, ada obat yang diperlukan untuk mengatur hormon sehingga bisa menekan rasa lapar dan meningkatkan rasa kenyang, serta mengikat lemak di usus.
"Obat itu fungsinya untuk mengendalikan hormon. Tidak akan menimbulkan kecanduan karena kalau pola makan sudah diperbaiki bisa lepas obat," paparnya.
Penanganan obesitas saat ini harus berfokus pada penanganan komplikasi obesitas, bukan sekadar menargetkan indeks massa tubuh.
Komplikasi obesitas yang sering dirasakan oleh pasien antara lain nyeri lutut, susah tidur, lemas walau sudah tidur lama, hingga hipertensi.
"Jadi yang terpenting apakah keluhan-keluhan itu berkurang atau tidak. Ada pasien yang walau baru turun 5 Kg tetapi keluhannya bisa berkurang," katanya.
Baca juga: Kenapa Obesitas Picu Penyakit Jantung? Begini Penjelasannya...
Pemerintah sendiri sudah memiliki beragam program untuk mengurangi angka obesitas. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2028, satu dari lima orang di Indonesia mengalami obesitas.
Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Kementerian Kesehatan, dr.Esti Widiastuti, mengatakan obesitas menjadi salah satu perhatian dalam mengatasi penyakit tidak menular di Indonesia.
"Sudah ada program Gerakan Lawan Obesitas yang meliputi pencegahan melalui promosi perubahan perilaku, deteksi dini, hingga penanangan khusus," kata dr.Esti di acara yang sama.
Ditambahkan oleh Clinical, Medical, and Regulatory Novo Nordisk Indonesia, dr.Riyanny Meisha Tarliman, pendekatan menyeluruh untuk mengatasi obesitas adalah hal yang penting.
"Bersama dengan Hisobi kami akan mengeluarkan panduan tatalaksana obesitas untuk tenaga kesehatan," ujarnya.
Novo Nordisk juga memiliki fitur chatbot Tanya Gendis Tanya Gendis yang tersedia di platform WhatsApp melalui nomor 0812 8000 5858. Fitur ini mudah diakses dan menyediakan tentang diabetes dan obesitas sehingga dapat membantu masyarakat dalam mengambil keputusan kesehatan yang berdasarkan informasi.
Baca juga: Kenali 4 Stadium Obesitas agar Terhindar dari Komplikasi Kronis
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.