Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depresi Pasca-kelahiran Bisa Memicu Ibu Menyakiti Bayi

Kompas.com - 05/10/2016, 08:58 WIB
Lily Turangan

Penulis

KOMPAS.com - Kita baru saja dikejutkan dengan peristiwa tragis seorang ibu muda memutilasi bayinya sendiri. Diduga, sang ibu mengalami depresi. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa sebelum kejadian yang menyedihkan itu terjadi, sudah ada gejala tidak normal dari sang Ibu.

Sayangnya, orang-orang terdekat tidak memahami gejala itu dan akibatnya mungkin mereka tidak paham untuk segera memberi dukungan dan pertolongan yang dibutuhkan ketika gejala awal depresi baru muncul.

Atas kejadian itu, rasanya akan bijak jika kita lebih mengasah kepekaan dan wawasan kita mengenai perilaku depresi.

Untuk itu, silakan disimak penuturan psikolog klinis dari AS, Guy Winch, PhD, mengenai pengalamannya menangani pasien-pasien depresi dan cara membedakan depresi dengan kesedihan yang biasa.

Sedih Vs Depresi

Pada ibu baru, depresi pasca-kelahiran umumnya terjadi dalam tahun pertama, empat minggu setelah melahirkan atau bahkan berbulan-bulan setelah melahirkan.

Umumnya ibu akan merasakan kepanikan tanpa sebab yang jelas, merasa tidak bahagia, merasa sedih terus-menerus hingga selalu menangis, gangguan tidur dan makan, hingga kehilangan kasih sayang untuk bayinya.

Bahkan, tak sedikit ibu yang mengalami depresi pasca-kelahiran berpikir untuk bunuh diri atau membunuh bayinya. Meski di sisi lain, sang ibu merasa sangat takut akan menyakiti bayinya. Sehingga, ia tak ingin melihat dan menyentuh bayinya.

"Dalam tahun-tahun saya praktik, saya telah bertemu banyak orang sebenarnya menderita depresi, tapi mengira mereka hanya sedih biasa. Sedih dan depresi adalah dua hal yang berbeda dan tidak semua orang mampu membedakannya," ujar Winch.

Kebingungan membedakan keduanya dapat menyebabkan kita mengabaikan kondisi serius yang memerlukan pengobatan (depresi) atau justru bereaksi berlebihan terhadap keadaan emosional yang normatif (kesedihan).

Inilah mengapa kita perlu membedakan antara dua kondisi mental tersebut. Jika kita atau orang yang kita cintai mengalami depresi, hal itu memiliki implikasi besar bagi kesehatan mental jangka panjang, kesehatan fisik, dan bahkan kelangsungan hidupnya.

Kesedihan adalah emosi manusia yang normal. Kita semua pernah mengalaminya dan kita semua akan kembali merasakannya.

Kesedihan biasanya dipicu oleh peristiwa, pengalaman, atau situasi yang sulit, menyakitkan, menantang, atau mengecewakan. Ini juga berarti bahwa ketika situasi berubah, ketika sakit emosional kita memudar, ketika kita sudah menyesuaikan diri maka kesedihan pun ikut memudar.

Sedangkan depresi adalah keadaan emosi yang abnormal, penyakit mental yang memengaruhi cara kita berpikir, emosi, persepsi, dan perilaku. Depresi seperti bayang-bayang gelap yang meresap dan kronis.

Ketika kita mengalami depresi, kita merasa sedih tentang segala hal. Depresi tidak selalu dipicu oleh situasi sulit, tidak juga selalu dipicu oleh perubahan situasi dari menyenangkan atau biasa-biasa saja menjadi tidak seperti keinginan atau harapan kita. Bahkan, sering juga terjadi, tidak ada pemicu yang bisa dianggap cukup kuat, tapi reaksi orang yang depresi terasa begitu kuat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com