Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemeriksaan yang Diperlukan untuk Deteksi Epilepsi pada Anak

Kompas.com - 15/01/2024, 10:06 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Orang yang menderita epilepsi akan mengalami kejang berulang. Penyakit ini bisa dialami sejak bayi

Seperti yang dialami oleh atlet angkat besi Raema Lisa Rumbewas. Atlet kebanggaan Indonesia itu berpulang dalam usia 43 tahun akibat epilepsi yang memburuk.

Menurut sang ibu, Ida Korwa, putrinya sudah mengalami gangguan otak dengan gejala kejang tersebut sejak berusia tiga bulan.

Di Indonesia, penyakit ini memiliki prevalensi mencapai 0,5 persen hingga 0,9 persen. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah penyandang epilepsi dapat mencapai 1,2 juta hingga 2,16 juta orang.

Epilepsi adalah gangguan fungsi otak akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sel-sel otak. Biasanya gangguan ini terjadi secara mendadak, dalam waktu sejenak, dan berulang.

Baca juga: Mengenal Epilepsi, Penyakit yang Pernah Diidap Lisa Rumbewas Sebelum Meninggal

Epilepsi bisa disebabkan oleh sejumlah banyak, termasuk perubahan gen (mutasi), cedera otak dan tumor, gangguan perkembangan otak saat kehamilan, kelainan pembuluh darah, perdarahan di otak, atau pun infeksi seperti meningitis, tuberkulosis, atau HIV.

Dikutip dari kidshealth.org, anak yang menyandang down syndrome dan autisme, juga lebih rentan mengalami epilepsi. Beberapa jenis epilepsi juga dialami secara temurun dalam keluarga.

Deteksi epilepsi

Jika anak mengalami kejang, dokter anak atau dokter saraf akan melakukan sejumlah pemeriksaan untuk mengetahui kemungkinan epilepsi.

Pemeriksaan tersebut termasuk tes darah dan urine, pemeriksaan gelombang otak dengan EEG, serta jika diperlukan pemeriksaan MRI.

Baca juga: 4 Jenis Epilepsi yang Dipengaruhi Aktivitas Otak

Semakin cepat diagnosis epilepsi ditegakkan, penanganan yang diberikan akan semakin cepat sehingga risiko kondisi epilepsi yang lebih buruk bisa diminimalkan.

Epilepsi merupakan penyakit tidak menular. Penyakit ini bisa dikendalikan dengan obat-obatan. Jika obat tidak berhasil mengontrol kejang, terkadang diperlukan perubahan pola makan.

Selain konsumsi obat rutin sesuai rekomendasi dokter, penderita epilepsi juga disarankan menghindari pemicu kejang seperti stres, kurang tidur, atau obat tertentu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com