BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan STPI

Kesadaran Masyarakat Jadi Kunci Indonesia Bebas TBC

Kompas.com - 14/04/2022, 20:40 WIB
Hisnudita Hagiworo,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia tidak boleh dianggap remeh. Pasalnya, Indonesia menempati peringkat ketiga dengan kasus TBC terbanyak di dunia, setelah India dan China.

Dilansir dari laman TB Indonesia, hingga Oktober 2021, terdapat 824.000 kasus TBC di Indonesia dengan 13.110 kasus kematian. Hal ini menjadi permasalahan serius. Terlebih, TBC dapat menular dengan mudah melalui droplet yang terbawa udara.

Merespons situasi tersebut, pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun melakukan berbagai upaya untuk menekan angka penularan TBC.

Baca juga: Lebih Bahaya Mana TBC atau Covid-19? Ini Kata Pakar Unair

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Didik Budijanto meminta masyarakat melakukan pengobatan secara tuntas. Selain itu, Didik juga mengupayakan penemuan kasus TBC sedini mungkin.

“Kami merencanakan skrining besar-besaran yang transformasional dengan memanfaatkan peralatan x-ray artificial intelligence untuk memberikan hasil diagnosis TBC yang lebih cepat dan efisien,” ujar Didik seperti dikutip dari sehatnegeriku.kemkes.go.id, Selasa (22/3/2022).

Meski demikian, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah harus didukung dengan kesadaran masyarakat. Pasalnya, sarana untuk pengobatan yang disiapkan pemerintah akan sia-sia jika masyarakat masih menyepelekan TBC.

Seperti diketahui, tingkat kesadaran masyarakat terhadap gejala TBC masih rendah. Masih banyak pula masyarakat yang belum memahami gejala umum TBC, yakni batuk terus-menerus sampai 14 hari atau lebih.

Hal tersebut terlihat dari hasil survei online dan offline yang dilakukan oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI) yang bekerja sama dengan StratX pada 2022.

Baca juga: Ketahui Seluk-beluk TBC untuk Setop Penularannya di Indonesia

Berdasarkan survei online terhadap 500 responden berusia 18-39 tahun di DKI Jakarta dan Jawa Barat, hanya 10,1 persen responden yang menganggap batuk lebih dari dua minggu merupakan gejala TBC. Sementara, pada survei offline terhadap 100 orang, diketahui bahwa hanya 4 persen responden yang menganggap batuk lebih dari 2 minggu adalah gejala TBC.

Karena kurang pengetahuan terkait gejala TBC, banyak masyarakat menganggap batuk yang dideritanya merupakan batuk biasa dan bisa disembuhkan dengan obat batuk yang dibeli di warung atau toko obat.

Sekalipun batuk yang diderita urung sembuh setelah 14 hari, masyarakat juga tidak segera ke dokter karena takut dan malu didiagnosis menderita TBC. Apalagi, TBC masih distigma negatif oleh masyarakat dan biasanya dukungan keluarga kepada penyintas TBC juga minim.

Alhasil, mereka pun memilih untuk tidak mengetahui penyakitnya dan menganggap sepele gejala batuk yang diderita.

Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap gejala TBC juga diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19. Koordinator Substansi Tuberkulosis Kemenkes dr Tiffany Tiara Pakasi mengatakan, sejak pandemi, banyak masyarakat tidak bisa membedakan gejala batuk dan demam pada TBC dan Covid-19.

Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa gejala batuk lebih dari 14 hari mengarah ke infeksi Covid-19. Padahal, batuk lebih dari 14 hari tidak selalu menjadi tanda bahwa seseorang terinfeksi virus corona. Bisa saja, hal ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab TBC.

Baca juga: Membongkar Deretan Mitos TBC serta Faktanya biar Tidak Salah Kaprah Lagi

“Oleh karena itu, kampanye promosi kesehatan tentang penyakit TBC menjadi semakin penting di masa pandemi,” katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, semakin banyak masyarakat dengan gejala TBC berani memeriksakan diri sedini mungkin dan dapat memutus rantai penularan TBC di masyarakat.

Tantangan bagi pasien TBC di Indonesia

Selain kesadaran yang masih rendah, para pasien TBC di Indonesia juga mengalami berbagai tantangan yang pelik. Salah satunya adalah stigma negatif penyakit TBC yang didapatkan dari masyarakat. Bahkan, pasien TBC dan keluarganya kerap mendapatkan diskriminasi.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Ivan Surya Pradipta dari Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran dan dipublikasikan di BMC Public Health, terdapat tiga tantangan utama yang dihadapi pasien TBC.

Dirangkum dari theconversation.com, Selasa (14/12/2021), berikut tiga tantangan yang harus dihadapi pasien TBC berdasarkan studi tersebut.

1. Aspek sosio-demografi dan ekonomi

Pada aspek sosio-demografi dan ekonomi, tantangan pasien TBC disebabkan beberapa faktor. Misalnya, stigma yang membuat diskriminasi terhadap pasien TBC. Tidak hanya di masyarakat, stigma ini juga muncul di lingkungan keluarga, bahkan para tenaga kesehatan.

Baca juga: Melawan TBC Resisten Obat dengan Tes Pengurutan Genomik

Dukungan keluarga yang rendah juga menjadi kendala yang harus dihadapi pasien TBC. Beberapa pasien TBC yang menjadi partisipan dalam studi tersebut mengungkapkan bahwa mereka dijauhi oleh masyarakat sekitar dan keluarga karena menderita TBC.

Selain itu, beberapa tenaga kesehatan juga terkadang enggan memeriksa karena takut tertular TBC.

Bagi pasien TBC yang tinggal di pinggiran kota atau pedalaman, jarak yang jauh menuju fasilitas kesehatan menjadi masalah yang cukup serius. Meski biaya pengobatan ditanggung pemerintah, mereka tetap perlu mengeluarkan biaya untuk keperluan transportasi.

2. Masalah pemahaman dan persepsi

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pemahaman dan persepsi masyarakat terkait penyakit TBC masih kurang. Tidak sedikit pasien TBC berhenti minum obat sebelum waktunya karena merasa sudah sehat.

Padahal, pengobatan TBC aktif dilakukan dalam jangka waktu sekitar 6-24 bulan secara tuntas. Berhenti sebelum waktunya akan berdampak pada kemunculan kembali bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Selain itu, tidak sedikit pasien TBC memiliki persepsi negatif terhadap fasilitas kesehatan publik. Beberapa partisipan studi merasa enggan berobat ke puskesmas karena kualitas pelayanan, dokter, dan obat yang dirasa belum optimal.

Baca juga: 4 Cara Mencegah TBC, Perlu Jaga Kebersihan dan Vaksin

Bahkan, pasien TBC juga mengungkapkan persepsi negatif terhadap diri sendiri. Mereka merasa vonis TBC merupakan akhir dari hidupnya karena penyakit ini tidak bisa disembuhkan.

Padahal, pengobatan yang dilakukan secara tuntas berhasil membantu banyak pasien TBC sembuh dan mampu kembali beraktivitas seperti sebelumnya.

3. Durasi terapi TBC

Durasi terapi TBC yang lama menjadi tantangan tersendiri bagi pasien. Pasalnya, selain rasa bosan, akan muncul juga kejadian efek samping pengobatan TBC.

Efek samping tersebut dapat mengakibatkan pasien memutuskan untuk berhenti minum obat. Bahkan, banyak keluarga pasien TBC menyarankan hal serupa.

Maka dari itu, karena tidak mau melakukan terapi tersebut, mereka lebih baik menghindarinya dan tidak mau melakukan pemeriksaan menyeluruh.

Dengan berbagai temuan tersebut, sudah seharusnya masyarakat Indonesia meningkatkan kesadaran terkait TBC, termasuk menyadari gejala TBC lebih awal.

Masyarakat pun perlu memahami bahwa TBC bukan suatu penyakit yang memalukan, tetapi TBC merupakan penyakit yang harus ditangani dengan tepat agar dapat sembuh dengan tuntas.

Untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) membangun komunikasi digital, yaitu #141CekTBC – 14 Hari Batuk Tak Reda? 1 Solusi, Cek Dokter Segera!

Sebagai informasi, STPI merupakan wadah kerja sama dan koordinasi antara para mitra, baik organisasi maupun pemerintah, yang memiliki kepedulian untuk pencegahan TBC di Indonesia.

Baca juga: 824.000 Kasus TBC dan 93.000 Kematian Per Tahun di Indonesia, Ini Cara Cek TBC Gratis di Puskesmas

Untuk diketahui, kampanye yang diserukan STPI itu selaras dengan kampanye Kemenkes, yaitu Temukan, Obati Sampai Sembuh (TOSS) TBC.

Melalui komunikasi digital tersebut, STPI berharap bisa meningkatkan kesadaran dan kepekaan masyarakat Indonesia terhadap gejala-gejala TBC, seperti batuk terus-menerus. Dengan begitu, masyarakat dapat segera memeriksakan diri ke dokter di fasilitas kesehatan agar mendapatkan perawatan yang tepat.

Kampanye #141CekTBC dapat diakses masyarakat melalui situs web 141.stoptbindonesia.org dan untuk informasi dari Kemenkes kunjungi tbindonesia.or.id.

Situs tersebut dilengkapi berbagai fitur yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan penanganan yang tepat dari gejala-gejala TBC. Salah satunya, fitur Chatbot 141CekTBC yang bisa digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap soal TBC.

Fitur tersebut juga bisa terhubung dengan dokter melalui Halodoc dan komunitas peduli TBC terdekat. Tak hanya itu, fitur Chatbot juga bisa membantu masyarakat menemukan fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Baca juga: Mahasiswa Rentan Kena TBC? Ini Kata Dokter Spesialis Paru UNS

Selain melalui situs web, fitur Chatbot juga bisa diakses melalui WhatsApp di nomor 08119961141.

Dalam situs web tersebut juga tersedia fitur Pengingat 141CekTBC. Fitur ini dapat membantu masyarakat menandai berapa lama gejala batuk yang dialami sudah berlangsung. Jika gejala batuk tersebut sudah mencapai 14 hari atau lebih, masyarakat akan mendapatkan peringatan untuk cek dokter segera.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi situs web berikut ini. Bisa juga mengikuti Stop TB Partnership Indonesia melalui akun Instagram, Twitter, dan Facebook


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau