KOMPAS.com - Ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf otak yang mengontrol motorik manusia, termasuk kemampuan untuk tidak melakukan gerakan yang tidak diinginkan.
Gangguan pada jaringan saraf ini disebut sindrom ekstrapiramidal.
Pengidapnya akan mengalami masalah motorik yang membuatnya melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkendali.
Baca juga: 8 Gejala Sindrom Asperger yang Khas
Sindrom ini biasanya terjadi pada pengidap skizofernia dan masalah kejiwaan lain yang mengharuskan konsumsi obat antipsikotik.
Sindrom ini umumnya disebabkan oleh antipsikotik tipikal, meskipun juga terjadi dengan semua jenis antipsikotik.
Antidepresan dan obat lain terkadang juga dapat menyebabkan efek samping pada ekstrapiramidal.
Melansir Healthline, obat-obatan ini membuat area otak yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap dopamin terganggu.
Umumnya terdapat dua jenis antipsikotik, yaitu generasi pertama dan kedua.
Antipsikotik generasi pertama biasanya lebih berisiko menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
Sementara untuk antipsikotik generasi kedua, efek samping cenderung terjadi pada tingkat yang lebih rendah.
Obat ini memiliki afinitas yang lebih kecil terhadap reseptor dopamin dan mengikat secara longgar serta memblokir beberapa reseptor serotonin.
Obat-obatan antipsikotik generasi pertama meliputi:
Baca juga: Punya Gejala Serupa, Apa Beda Sindrom Asperger dan Autisme?
Obat antipsikotik generasi kedua meliputi:
Adapun faktor lain yang dapat memperbesar risiko terkena sindrom ekstrapiramidal, seperti:
Gejala umum sindrom ekstrapiramidal menurut Verywell Mind di antaranya:
Gejalanya termasuk mengetuk jari, menyilangkan kaki, dan aktivitas lain yang tidak dikehendaki.
Gejala yang umum terjadi di antaranya tremor, proses berpikir lebih lambat, gerakan lebih lambat, otot kaku, kesulitan berbicara, dan wajah kaku.
Baca juga: Sindrom Tourett: Gejala, Penyebab hingga Pengobatan
Lekas hubungi dokter atau layanan kesehatan terdekat jika mengalami gejala di atas, terlebih penderita sedang dalam konsumsi obat antipsikotik.
Dokter akan bertanya terkait gejala yang dirasakan. Selain itu dokter juga akan melihat sendiri seperti apa gejala yang timbul.
Diagnosis umumnya menggunakan skala evaluasi, seperti skala gejala ekstrapiramidal yang diinduksi obat (DIEPSS) atau skala peringkat gejala ekstrapiramidal (ESRS).
Skala evaluasi tersebut dapat memberikan lebih banyak informasi tentang gejala dan tingkat keparahannya.
Pengobatan sindrom ekstrapiramidal tergantung pada obat penyebab dan gejala dirasakan.
Obat yang menjadi penyebab gangguan ekstrapiramidal akan diturunkan dosisnya secara bertahap.
Benzodiazepin, antikolinergik, atau vitamin B6 juga biasanya diresepkan untuk membantu menekan gejala.
Dalam kondisi yang semakin parah, penderita diharuskan mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Baca juga: 6 Cara Atasi Dysania, Sindrom Susah Bangkit dari Tempat Tidur
Tindakan preventif yang bisa dilakukan adalah dengan tidak mengonsumsi obat antipsikotik di luar dosis yang diberikan.
Selain itu, penting untuk rutin berkonsultasi dengan dokter terkait perkembangan kondisi medis agar dosis obat dapat disesuaikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.