KOMPAS.com - Sindrom Stockholm adalah respons psikologis yang umumnya dikaitkan dengan penculikan dan penyanderaan.
Orang yang mengalami sindrom Stockholm memiliki perasaan positif terhadap sang penculik atau pelaku.
Melansir webmd, sindrom Stockholm bukan diagnosis psikologis, melainkan cara untuk memahami respons emosional beberapa orang terhadap penculik atau pelaku.
Baca juga: Dampak Perselingkuhan bagi Kesehatan Mental
Dalam beberapa kasus langka, orang yang tersakiti atau menjadi sasaran pelecehan memiliki perasaan simpati atau pemikiran positif lainnya terhadap sang pelaku.
Kondisi ini dapat terjadi selama berhari-hari, bahkan bertahun-tahun dalam interaksi erat dengan sang pelaku.
Dilansir dari healthgrades.com, peneliti juga telah mengidentifikasi sindrom Stockholm dalam hubungan. Bahkan, dalam konteks kekerasan rumah tangga yang buruk.
Baik dalam kondisi penyanderaan ataupun hubungan, sindrom Stockholm dapat muncul saat pelaku tidak berbuat jahat atau menghentikan pelecehan dalam beberapa kurun waktu tertentu atau secara permanen.
Dalam konteks hubungan, proses penghentian kekerasan itu disebut fase bulan madu, ketika pelaku meminta maaf dan berjanji untuk menghentikan pelecehan.
Sindrom Stockholm diduga telah terjadi sejak beberapa abad lalu. Namun, kondisi ini baru dikenal secara umum dan dinamai pada tahun 1973.
Pada saat itu, dua pria bernama Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson menyandera empat orang selama enam hari dalam perampokan bank di Stockholm, Swedia.
Setelah para sandera dibebaskan, keempat sandera itu menolak untuk bersaksi melawan para penculik mereka dan bahkan mengumpulkan uang sebagai bentuk pembelaan.
Para sandera mengungkapkan bahwa Olsson dan Olofsson memerlakukan mereka dengan baik dan tidak menyakiti mereka.
Baca juga: 5 Kata Toxic Positivy yang Berbahaya untuk Kesehatan Mental
Psikolog dan ahli kesehatan mental kemudian menetapkan istilah "sindrom Stockholm" untuk kondisi di mana sandera mengembangkan hubungan emosional atau psikologis dengan sang penahan.
Meski menjadi sebuah kondisi yang dikenal umum, sindrom Stockholm tidak diakui oleh The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi terbaru (DSM-5).
DSM merupakan panduan yang digunakan ahli kesehatan mental atau spesialis lain untuk mendiagnosis gangguan kesehatan mental.
Sindrom Stockholm belum sepenuhnya diketahui oleh banyak peneliti, psikolog, ataupun kriminolog. Masih ada perdebatan jika sindrom ini merupakan sesuatu yang nyata.
Melansir medicalnewstoday, para ahli menduga bahwa sindrom Stockholm dapat berkembang saat:
Beberapa tanda yang dapat timbul pada penderita Stockholm Syndrome:
Baca juga: Bukan Cuma Berat, Rindu Juga Berdampak Buruk Pada Kesehatan Mental
Setelah bebas, korban mungkin akan tetap memiliki perasaan positif terhadap sang pelaku.
Namun, terdapat kemungkinan mereka juga akan mengalami:
Jika menduga bahwa Anda atau orang di sekitar Anda memiliki sindrom Stockholm, segera cari bantuan.
Dalam jangka pendek, terapi dan perawatan psikologis untuk gangguan stres pascatrauma dapat membantu meringankan masalah langsung terkait pemulihan seperti kecemasan dan depresi.
Baca juga: Apa Dampak Ghosting bagi Kesehatan Mental
Psikoterapi jangka panjang juga dapat menjadi alternatif penanganan.
Ahli kesehatan mental akan mengajari cara yang tepat untuk memahami hal yang terjadi dan bagaimana cara untuk bergerak maju.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.