Bahkan, dari cerita anak-anak, mereka juga pernah mengambil uang orangtua tanpa izin dan yang paling parah mencuri rokok di warung demi bisa merokok lagi dan lagi.
"Dari penuturan anak–anak ini, tergambarkan bahwa mereka yang sudah kecanduan akan melakukan apapun agar bisa merokok," ucap Shoim.
Dia mengisahkan, beberapa perokok anak yang telah diwawancarai pengurus Kakak sebenarnya sudah merasakan adanya gangguan kesehatan akibat rokok.
Mereka di antaranya sering mengeluh mengalami batuk berat, sesak napas, dan kepala pusing setelah menjadi perokok aktif.
Bahkan satu anak pernah menderita sakit sampai tidak mampu berjalan karena dadanya sesak.
Namun di sisi lain, anak-anak mengalami kesulitan ketika ingin berhenti merokok.
Saat mencoba sehari saja tidak merokok, mereka bisa dihadapkan pada ketidaknyamanan berupa mulut kecut, dada berdebar, hingga susah tidur.
Anak-anak hanya akan berhenti merokok ketika benar-benar jatuh sakit.
Setelah sembuh, mereka terdorong kembali melakukan kebiasaan buruk tersebut.
"Bahaya rokok pada anak-anak ini nyata. Merokok bukan hanya mengancam kesehatan, tapi juga rentan menimbulkan masalah sosial lanjutan pada kehidupan mereka," ucap dia.
Shoim pesimistis target penurunan pervalensi perokok anak menjadi 5,7 persen sesuai dengan RPJMN 2020-2024 akan sulit dicapai jika pemerintah tidak punya tindakan serius.
Yayasan Kakak berharap pemerintah bisa berani mengambil langkah tegas melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok di luar dan dalam ruang, minimal di area-area yang dekat dengan aktivitas anak, seperti sekitar sekolah, tempat olahraga, taman, taman, pasar, pusat berbelanjaan, termasuk kendaraan umum yang dapat mendorong anak menjadi perokok pemula.
Baca juga: 3 Jenis Rokok Elektrik dan Bahayanya bagi Saluran Pernapasan
Selain itu, Shoim menilai, pemerintah penting juga untuk segera menaikkan harga rokok secara siginifikan melalui mekanisme cukai demi melindungi anak-anak.
"Rp100.000 per bungkus itu harga tinggi yang saya yakin akan membuat banyak orang berpikir lagi untuk membelinya, sehingga diharapkan bisa pula menekan angka perokok anak," pendapat dia
Dia mengusulkan kenaikan harga rokok segitu juga atas hasil konsultasi dengan para perokok anak yang menganggap harga rokok Rp100.000 per bungkus sudah termasuk cukup mahal dan sulit dibeli.
Namun, Shoim menuturkan, anak-anak ini memang tidak bisa menjamin akan atau dapat berhenti merokok setelah harga rokok dinaikkan secara signifikan tersebut.
Pasalnya, mereka langsung berpikir masih mungkin bisa membeli rokok secara ketengan.
"Nah, konsultasi menunjukkan bahwa selama ini anak-anak terbiasa merokok karena bisa membeli rokok eceran per batang," tutur dia.
Oleh karena itu, Yayasan Kakak mendorong pemerintah dapat juga segera merevisi Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 untuk melarang penjualan rokok per batang guna semakin menutup akses anak dari rokok.
Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Moewardi Solo, dr. Yusup Subagyo Sutanto, Sp.P(K), juga resah dengan hasil temuan kenaikan prevalensi perokok anak di Indonesia.
Padahal, dia menegaskan, bahaya rokok bagi kesehatan anak itu nyata.
Anak-anak yang merokok maupun jadi perokok pasif cenderung lebih mudah terkena penyakit pernafasan, seperti asma, bronkitis, hingga pneumonia ketimbang anak yang tidak merokok atau terpapar asap rokok.
Ketika asap rokok dihisap lalu masuk ke saluran pernapasan, di situlah racun diserap.
Berbagai zat beracun yang terkandung dalam rokok bahkan bisa mengakibatan kanker mulut, kanker tenggorokan, hingga kanker paru-paru.
"Ada banyak sekali bahan kimia di dalam rokok yang telah terbukti dapat menimbulkan penyakit berbahaya seperti kanker," jelas Yusup.
Dia mengingatkan, ketika merokok sudah dilakukan sedari kecil, kemungkinan seseorang untuk terkena penyakit berbahaya akibat rokok pada usia dewasa akan semakin besar.
Itu karena kemungkinan konsumsi rokoknya lebih besar ketimbang orang yang mulai merokok ketika sudah dewasa.