SOLO, KOMPAS.com - Jumlah perokok anak di Indonesia terus naik.
Hal itu tertuang dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Pada 2013, prevalensi perokok anak di Indonesia berkisar 7,1 persen.
Selama kurun waktu lima tahun, angkanya meningkat menjadi 9,1 persen.
Artinya, pada 2018, hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok.
Angka tersebut jauh di atas target penurunan prevalensi perokok anak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 5,4 persen.
Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan oleh sejumlah pihak karena bahayakan generasi muda.
Ketua Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (Kakak), Shoim Sahriyati, menilai tak tercapainya penurunan prevalensi perokok anak sesuai RPJMN 2015-2019 menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok, sementara industri rokok terus berhasil merekrut perokok baru.
Dia berpendapat, setidaknya ada dua penyebab utama tingginya perokok anak di Indonesia yang saling berkaitan erat, yakni iklan rokok yang merajalela dan harga rokok yang relatif terjangkau bagi anak-anak.
Yayasan Kakak sendiri pernah mengadakan survei sederhana mengenai keberadaan iklan, promosi, dan sponsor rokok di Kota Solo pada Maret 2019.
Survei ini diadakan Yayasan Kakak dengan menggandeng anak-anak dari Forum Anak Surakarta (FAS) dengan maksud agar anak-anak menyadari situasi di sekitar mereka, khususnya posisi anak yang dijadikan target dari industri rokok.
Baca juga: Dokter: Rokok Elektrik Bisa Lebih Berbahaya Ketimbang Rokok Tembakau
Survei juga dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta anak-anak di Kota Solo dalam melakukan advokasi kebijakan berkaitan dengan rokok.
Dalam survei yang dilakukan selama 2 pekan itu, Yayasan Kakak dan FAS mendapati sedikitnya ada 1.472 iklan, promosi, dan sponsor rokok yang tersebar di 5 kecamatan di Solo.
Dari jumlah tersebut, 54 persen atau sebagian besarnya ditemukan berada di pinggir jalan.
Media iklan, promosi, dan sponsor itu tentu tidak asal dipasang di sembarang tempat di pinggir jalan.
Berdasarkan pengamatan, Shoim menuturkan, iklan, promosi dan sponsor rokok pada kenyataanya banyak diletakkan di tempat anak-anak sering berkumpul, misalnya halte atau tempat mereka menunggu jemputan ketika pulang sekolah.
Setelah pinggir jalan, iklan, promosi, dan sponsor rokok kemudian bisa dengan mudah ditemukan di sekitar minimarket, sekitar sekolah, pasar tradisional, simpang jalan, tempat olahraga atau lapangan, dan taman kota atau taman cerdas.
Dia melihat keadaan pada 2019 itu masih tak jauh beda dengan sekarang.
"Anak-anak sudah dikepung iklan rokok di mana-mana yang pada akhirnya membuat mereka penasaran dan ingin mencobanya," kata Shoim saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (13/10/2020).
Kemudian, karena harga rokok relatif murah, Shoim menyebut, anak-anak bisa dengan mudah mendapatkannya.
Baca juga: Dokter: Rokok Dapat Tingkatkan Risiko Infeksi Virus Corona
Sebelum mengerjakan survei Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Yayasan Kakak sempat juga melakukan konsultasi mendalam dengan 10 perokok anak di Kota Solo.
Konsultasi ini diadakan untuk mengungkap fakta keberadaan perokok anak di Kota Solo sebagai bekal dalam melakukan survei tersebut.
Dari hasil wawancara dengan para perokok anak usia 9-16 tahun itu, Yayasan Kakak mendapati fakta bahwa untuk mendapatkan rokok, anak-anak sangat mudah karena tersedia di warung-warung terdekat, bebas diakses anak, harganya relatif terjangkau, dan bisa dibeli per batang.
Shoim menyebut, 5 orang dari mereka bahkan mengaku rata-rata dapat menghabiskan 10 batang rokok per hari.
Jumlah rokok sebanyak itu bisa diperoleh anak-anak dengan beragam cara.
Tak hanya menyisihkan uang saku atau pinjam uang ke teman, beberapa dari mereka bahkan berterus terang rela mengamen terlebih dahulu untuk bisa membeli rokok.
Kebiasaan mengamen untuk mendapatkan uang ini pada akhirnya membuat anak-anak kehilangan motivasi belajar atau bersekolah.