Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroenterologi Hepatologi Mayapada Hospital Kuningan www.mayapadahospital.com
KOMPAS.com - Hati merupakan organ yang berperan penting dalam sistem pencernaan.
Salah satu fungsi hati adalah memecah lemak dari makanan dan mengubahnya menjadi energi sehingga wajar apabila terdapat sejumlah kecil lemak di dalam hati.
Namun, apabila jumlah lemak mencapai 10 persen dari berat hati maka organ hati mengalami penyakit yang disebut perlemakan hati.
Baca juga: 6 Makanan yang Baik Dikonsumsi Penderita Perlemakan Hati
Perlemakan hati atau fatty liver sering kali disebabkan akibat konsumsi alkohol secara berlebihan dan kadar kolesterol yang tinggi.
Perlemakan hati atau hepatic steatosis merupakan penumpukan lemak di hati yang dapat memicu peradangan (inflamasi).
Peradangan yang tidak kunjung sembuh akan memicu terbentuknya jaringan parut (sirosis) dan menimbulkan gangguan pada fungsi hati.
Maka dari itu, kondisi ini harus segera ditangani agar tidak menyebabkan masalah kesehatan yang lebih serius.
Mengutip Cleveland Clinic, perlemakan hati sering kali tidak menimbulkan gejala hingga menyebabkan peradangan.
Kondisi ini ditandai dengan beberapa gejala berikut:
Baca juga: 10 Cara Mengobati Penyakit Perlemakan Hati Secara Alami
Merangkum WebMD dan Healthline, terdapat dua jenis perlemakan hati yang digolongkan berdasarkan penyebabnya. Berikut penjelasannya:
Kondisi ini terjadi akibat kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan.
Hal ini dapat menyebabkan metabolisme di hati terganggu dan malah meningkatkan kemampuan hati dalam menyimpan lemak.
Perlemakan hati juga dapat dialami oleh orang yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol.
Namun, penyebab kondisi ini cenderung lebih sulit untuk diketahui. Akan tetapi, sindrom metabolik diduga berkaitan dengan terjadinya penyakit ini.
Sindrom metabolik meliputi beberapa kondisi berikut:
Perlemakan hati yang tidak terkait alkohol dapat terbagi menjadi dua kondisi berikut:
Baca juga: 3 Penyebab Perlemakan Hati yang Perlu Diwaspadai
Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi berupa terbentuknya jaringan parut pada hati (fibrosis), sirosis, hingga kanker hati.
Menurut WebMD, berikut beberapa kondisi yang meningkatkan risiko seseorang mengalami perlemakan hati:
Baca juga: 13 Gejala Perlemakan Hati yang Perlu Diwaspadai
Dilansir dari situs Healthline, diagnosis perlemakan hati diawali dengan tanya jawab mengenai gejala, gaya hidup, serta riwayat kesehatan pasien dan keluarga.
Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dengan meraba atau menekan area perut guna mendeteksi organ hati yang membesar.
Selain itu, dokter mungkin memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang berikut guna memastikan diagnosis:
Merangkum Mayo Clinic dan Healthdirect, hingga saat ini masih belum ada obat yang dapat menyembuhkan perlemakan hati.
Pada sebagian besar kasus, perubahan gaya hidup dapat membantu meredakan gejala perlemakan hati.
Perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan, meliputi:
Baca juga: 7 Cara Menghilangkan Fatty Liver dengan Obat dan Gaya Hidup Sehat
Selain perubahan gaya hidup, vitamin E dan pioglitazone (obat untuk mengobati diabetes) diduga dapat memperbaiki kondisi perlemakan hati.
Vitamin E dan pioglitazone juga dapat membantu mengurangi peradangan dan mencegah kerusakan akibat perlemakan hati yang tidak terkait alkohol.
Meskipun demikian, penggunaan obat tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pada kasus yang parah, pasien memerlukan tindakan cangkok hati atau transplantasi hati.
Prosedur ini dilakukan untuk mengganti organ hati yang sudah tidak berfungsi dengan organ hati dari donor.
Dikutip dari Mayo Clinic, jika tidak ditangani dengan tepat, perlemakan hati akan menyebabkan sirosis yang memicu sejumlah komplikasi berikut:
Baca juga: 5 Bahaya Fatty Liver yang Perlu Diwaspadai
Menurut WebMD, tindakan pencegahan perlemakan hati akan disesuaikan dengan jenisnya.
Perlemakan hati terkait alkohol dapat dicegah dengan beberapa cara berikut:
Sementara itu, perlemakan hati yang tidak terkait alkohol dapat dicegah dengan beberapa cara berikut:
Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.