KOMPAS.com - Plasenta atau ari-ari merupakan organ yang menghubungkan embrio atau janin dengan dinding uterus (rahim) melalui tali pusat.
Plasenta berperan sebagai organ yang memberikan oksigen dan nutrisi pada janin yang ada di dalam kandungan.
Plasenta juga memberikan antibodi kepada janin agar janin terlindungi dari infeksi selama berada di dalam rahim.
Baca juga: Fakta Seputar Plasenta Previa, Biang Pendarahan pada Ibu Hamil
Pada kondisi normal, plasenta akan terlepas dari dinding rahim dan keluar dari tubuh dalam 30 menit setelah proses persalinan.
Namun, terkadang plasenta tidak dapat terlepas dengan sendirinya dan tertahan di dalam dinding rahim meski bayi telah dilahirkan. Kondisi ini disebut dengan retensi plasenta.
Retensi plasenta merupakan salah satu komplikasi persalinan yang dapat berakibat fatal hingga mengancam nyawa jika tidak segera ditangani.
Hal ini dikarenakan, retensi plasenta dapat menyebabkan seorang wanita kehilangan darah berlebihan akibat perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan.
Dikutip dari Healthline, terdapat tiga jenis retensi plasenta berdasarkan penyebabnya, yaitu:
Hal ini kerap terjadi akibat leher rahim (serviks) mulai menutup sebelum plasenta dikeluarkan sehingga plasenta terperangkap di dalam rahim.
Baca juga: Plasenta Akreta
Melansir Very Well Family, gejala utama retensi plasenta adalah plasenta tidak sepenuhnya keluar dari tubuh dalam kurun waktu satu jam setelah proses persalinan.
Plasenta yang tidak kunjung keluar setelah bayi dilahirkan akan menimbulkan beberapa gejala berikut:
Merangkum American Pregnancy Association dan Pregnancy, Birth and Baby, retensi plasenta dapat terjadi akibat berbagai faktor sesuai dengan jenisnya.
Namun, kondisi ini umumnya terjadi ketika rahim tidak cukup kuat untuk berkontraksi.
Kontraksi yang lemah atau jeda yang terlalu lama dapat menyebabkan plasenta tertahan di dalam rahim.
Beberapa kondisi lain yang dapat menyebabkan retensi plasenta, meliputi:
Baca juga: Plasenta previa
Dirangkum dari situs Flo Health dan WebMD, beberapa kondisi berikut dapat meningkatkan risiko seorang wanita mengalami retensi plasenta:
Mengutip Healthline, dokter dapat mendiagnosis retensi plasenta dengan memeriksa secara teliti keutuhan plasenta yang keluar setelah proses persalinan.
Plasenta memiliki bentuk yang khas sehingga bagian kecil yang tidak lengkap dapat menjadi petunjuk yang harus diperhatikan.
Namun pada beberapa kasus, dokter mungkin tidak menyadari adanya bagian kecil yang hilang atau terlepas dari plasenta.
Baca juga: Pendarahan Pasca Melahirkan
Jika kondisi ini terjadi, umumnya pasien akan mengalami gejala segera setelah melahirkan.
Apabila dokter mencurigai pasien mengalami retensi plasenta maka akan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk melihat kondisi rahim.
Bila hasil pemeriksaan USG menunjukkan adanya bagian tertentu dari plasenta yang tertinggal di dalam rahim, dokter akan melakukan penanganan guna mencegah komplikasi.
Merangkum dari Flo Health dan Healthline, penanganan retensi plasenta bertujuan untuk mengangkat seluruh bagian plasenta yang tertinggal di dalam rahim.
Beberapa metode penanganan yang dapat diberikan, meliputi:
Baca juga: 11 Penyebab Pendarahan saat Melahirkan
Jika metode di atas tidak berhasil mengeluarkan plasenta dari dalam rahim maka dokter mungkin akan melakukan prosedur operasi sebagai upaya terakhir.
Menurut Patient Info, retensi plasenta dapat menimbulkan beberapa komplikasi berikut:
Dikutip dari Healthline, beberapa tindakan berikut akan dilakukan selama proses persalinan sebagai upaya mencegah retensi plasenta:
Setelah proses persalinan selesai, dokter mungkin akan menyarankan pasien untuk melakukan pemijatan rahim.
Pemijatan rahim berfungsi untuk merangsang kontraksi rahim dan membantu meredakan perdarahan, serta membantu rahim kembali ke ukuran normal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.