KOMPAS.com - Parafilia adalah perilaku atau impuls seksual abnormal yang ditandai dengan fantasi seksual yang intens dan dorongan yang terjadi berulang.
Dorongan tersebut dapat melibatkan objek, aktivitas, atau situasi tidak biasa yang umumnya tidak dianggap membangkitkan gairah seksual orang lain.
Sering kali, parafilia juga disebut sebagai penyimpangan seksual karena merujuk pada perilaku seksual yang di luar norma hukum, agama, maupun kebiasaan.
Baca juga: Pedofilia
Parafilia dapat menyebabkan masalah prbadi, sosial, dan karier. Penderita parafilia juga dapat disebut "kinky" atau mesum.
Perilaku terkait mungkin juga memiliki konsekuensi sosial dan hukum yang serius.
Terdapat berbagai variasi minat seksual yang hampir tidak terbatas.
Namun, DSM-5 mengidentifikasi delapan jenis yang paling signifikan secara klinis, yaitu sebagai berikut.
Beberapa yang lain juga termasuk:
Baca juga: Sebabkan Trauma Mendalam, Begini Cara Bantu Korban Kekerasan Seksual
Beberapa penjelasan gejala masing-masing jenis parafilia di antaranya adalah sebagai berikut, melansir dari berbagai sumber.
Eksibisionisme adalah aksi saat seseorang menunjukkan alat kelamin mereka kepada orang asing yang tidak menaruh curiga.
Orang dengan kondisi ini terkadang disebut "flasher" karena merasa perlu untuk mengejutkan atau membuat korbannya terkesan.
Tanpa ada maksud jahat lain, seorang eksibisionis hanya ingin menunjukkan alat kelamin mereka saja. Reaksi dari orang asing tersebut yang menjadi kepuasan tersendiri dari mereka.
Namun, orang ini juga mungkin dapat melakukan masturbasi saat mengekspos diri atau saat berfantasi tentang mengekspos diri sendiri.
Pedofilia (gangguan pedofilik) adalah kondisi yang menggambarkan seseorang dengan gairah seksual terhadap anak-anak atau praremaja, biasanya di bawah 14 tahun.
Seseorang dapat diklasifikasikan dengan gangguan ini jika setidaknya berusia 16 tahun dan memiliki perasaan atau gairah terhadap anak-anak yang usianya lima tahun lebih muda.
Seorang predator pedofil mungkin menggunakan kekerasan aatu paksaan untuk melibatkan anak-anak secara seksual dan dapat mengancam menyakiti anak jika memberitahu siapapun.
Banyak dari pedofil memiliki ganguan kepribadian antisosial.
Selain itu, juga banyak dari mereka memiliki ketergantungan terhadap zat dan mengalami depresi. Seringkali berasal dari keluarga disfungsional dan mengalami pelecehan seksual saat kanak-kanak.
Baca juga: Apa Arti Pedofilia dan Dampaknya pada Korban? Begini Penjelasan Dokter
Orang dengan fetish memiliki dorongan seksual yang terkait dengan benda mati. Misalnya dengan pakaian, kain, sepatu, dan sebagainya.
Fetish juga dapat menjadi alternatif dari aktivitas seksual dengan pasangan atau dapat diintegrasikan ke dalam aktivitas seksual dengan pasangan yang bersedia.
Melansir Web MD, jika fetish menjadi satu-satunya objek hasrat seksual, orang dengan gangguan ini umumnya menghindari hubungan seksual yang sebenarnya.
Gangguan ini disebut parsialisme, melibatkan menjadi terangsang secara seksual oelh bagian tubuh, seperti kaki, payudara, atau bokong.
Gangguan ini merupakan dorongan seksual untuk menyentuh atau menggosok alat kelamin penderitanya kepada orang yang tidak dikenal atau tidak menyetujui.
Kebanyakan kasus melibatkan laki-laki yang menggesekkan daerah genitalnya terhadap perempuan di tempat umum yang ramai.
Kontak ini bersifat ilegal.
Voyeurisme adalah kondisi saat seseorang terangsang secara seksual dengan menonton orang yang membuka baju, telanjang, atau terlibat dalam aktivitas seksual.
Sementara itu, gangguan voyeuristik adalah tindakan atas dorongan atau fantasi voyeuristik, merasa tertekan karena tidak dapat melakukan aksi tersebut.
Baca juga: Homoseksual Menurut Psikologi Bukan Kelainan, Ini Penjelasan Ahli...
Umumnya, kebanyakan orang dengan voyeur tidak memiliki gangguan voyeuristik.
Dokter mendiagnosis seseorang dengan voyeuristik jika orang tersebut merasa sangat tertekan atau menjadi tidak dapat berfungsi karena perilaku mereka.
Perawatan biasanya dimulai setelah orang dengan gangguan ini tertangkap, melibatkan psikoterapi, kelompok pendukung, dan antidepresan tertentu.
Sadisme seksual adalah kecenderungan seseorang menyukai penderitaan fisik atau psikologis (penghinaan atau teror) pada orang lain untuk merangsang gairah seksual dan orgasme.
Gangguan sadisme seksual merupakan tindakan yang menyebabkan penderitaan signifikan atau gangguan fungsional terhadap orang yang tidak memberikan konsensual (tidak setuju).
Kebanyakan fantasi sadis seksual ini memunculkan gairah seksual dari penderitaan yang ditimbulkan pada pasangan, setuju atau tidak.
Jika dilakukan terhadap pasangan tanpa konsensual, tindakan ini bersifat kriminal.
Namun, sadisme seksual tidak identik dengan pemerkosaan, campuran seksual kompleks, dan kekuasaan atas korban.
Transvestisme mengacu pada praktik pria heteroseksual yang mengenakan pakaian wanita untuk menghasilkan atau meningkatkan gairah.
Gairah ini biasanya tidak melibatkan pasangan nyata, tetapi mencakup fantasi bahwa orang tersebut merupakan pasangan wanita di saat bersamaan.
Baca juga: Ini Usia Ideal Anak Mulai Diberikan Pendidikan Seks
Beberapa pria hanya menggunakan satu pakaian khas wanita, seperti pakaian dalam.
Namun, terdapat juga di mana pria tersebut berpakaian lengkap, termasuk gaya rambut dan rias wajah.
Berpakaian silang atau cross-dressing tidak menjadi masalah kecuali menjadi suatu keharusan bagi individu tersebut untuk menjadi terangsang atau mengalami klimaks seksual.
Faktor risiko dari gangguan eksibisionistik pada laki-laki termasuk gangguan kepribadian antisosial, penyalahgunaan alkohol, dan minat pada pedofilia.
Beberapa faktor lain dapat meliputi pelecehan seksual dan emosional selama masa kanak-kanak.
Teori gangguan pacaran yang diterapkan pada parafilia mendalilkan bahwa seorang eksibisionis menganggap respons terkejut korban mereka terhadap apa yang dilakukan (menunjukkan alat kelamin) sebagai bentuk minat seksual.
Timbulnya kondisi ini biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau awal masa dewasa.
Mirip dengan preferensi seksual lainnya, preferensi dan perilaku seksual eksibisionistik dapat berkurang seiring bertambahnya usia.
Terdapat beberapa teori berbeda terkait apa yang menyebabkan pedofilia.
Beberapa peneliti berasumsi bahwa pedofilia diakibatkan oleh perkembangan saraf.
Terdapat beberapa perbedaan struktur otak bagi orang pedofil, seperti:
Baca juga: Punya Dampak Besar, Pahami Tanda Anak Alami Kekerasan Seksual
Melansir psychcentral, perbedaan ini mirip dengan orang-orang dengan gangguan kontrol impuls, seperti OCD, kecanduan, dan gangguan kepribadian antisosial.
Pedofilia juga dapat menjadi indikasi sampingan dari penyakit psikiatri komorbid lainnya.
Perbedaan struktur otak dapat terbentuk akibat perkembangan otak yang tidak normal. Namun, gangguan stres pascatrauma juga menyebabkan kelainan otak jenis ini.
Pengalaman traumatis pada awal kehidupan pedofil dapat menyebabkan perkembangan atipikal ini (Hall & Hall, 2007).
Lima faktor lain yang dikaitkan dengan pedofilia, meliputi:
Fetish dapat berkembang seiring bertumbuhnya seseorang dan mengalami masa pubertas.
Beberapa ahli percaya bahwa minat fetish tersebut muncul akibat objek atau bagian tubuh yang diasosiasikan dengan pengalaman awal seseorang tentang gairah seksual atau masturbasi.
Belum ada bukti konklusif mengenai apa yang menjadi penyebab atau pemicu gangguan fetisisme.
Baca juga: Fenomena Gancet saat Berhubungan Seksual, Bagaimana Fakta Medisnya?
Tidak ada penyebab atau faktor risiko yang terbukti secara ilmiah untuk gangguan ini.
Namun, salah satu teori meliputi aksi ketidaksengajaan saat seseorang mendapati alat kelaminnya bergesekan dengan orang lain di keramaian dan menjadi terangsang secara seksual.
Orang tersebut mungkin ingin mengulangi pengalaman tersebut.
Aksi ini dapat menggantikan cara yang lebih konvensional untuk mencapai gairah seksual (penetrasi dan sebagainya).
Selain itu, trauma masa kanak-kanak atau gangguan kecemasan dapat memengaruhi perkembangan psikoseksual orang tersebut menjadi tidak normal.
Orang dengan frotteurisme menganggap kontak intim dengan orang asing adalah sebagai bentuk pemanasan (foreplay).
Laki-laki antara usia 15 hingga 25 termasuk ke dalam golongan yang paling mungkin memiliki kondisi ini. Umumnya, target perilaku ini adalah wanita.
Tidak ada penyebab spesifik yang dicatat untuk gangguan voyeurisme.
Beberapa faktor risiko yang umumnya terkait dengan seseorang voyeuris termasuk penyalahgunaan zat, pelecehan seksual, dan hiperseksual.
Beberapa ahli menyimpulkan bahwa banyak orang memiliki kecenderungan voyeuristik dalam berbagai kesempatan, tapi takut untuk mengakuinya.
Menonton atau mengintip seseorang terus-menerus dapat memperkuat dan melanggengkan perilaku penderita ke titik di mana aksi tersebut dinormalisasikan dan menjadi patologis.
Baca juga: Mengenal Risiko Seks Anal bagi Kesehatan
Terdapat beberapa teori yang menjadi dugaan penyebab dari gangguan sadisme seksual.
Salah satunya adalah pelarian atau perasaan berkuasa bagi seseorang yang merasa tidak berdaya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, juga dapat meliputi pelepasan fantasi seksual yang tertekan, dan tindakan progresif dari fantasi seksual sadis yang bertumbuh seiring berjalannya waktu.
Gangguan kejiwaan atau sosial lainnya dapat didiagnosis bersama dengan gangguan sadisme seksual, meskipun belum tentu menjadi penyebabnya.
Tidak ada penyebab spesifik untuk gangguan transvestik.
Orang dengan transvestik dianggap mempunyai pemikiran bahwa melakukan crossdressing menyebabkan kegembiraan yang mungkin, setelah pubertas, menjadi gairah seksual.
Seiring bertambahnya usia, perilaku tersebut diulangi diperkuat. Jika tidak dilakukan, gairah seksual dan kepuasannya bisa berkurang.
Dalam mendiagnosis tiap-tiap jenis dari parafilia, dokter atau terapis akan mengacu pada syarat yang tertulis pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi 5 (DSM-5).
Buku tersebut menjadi panduan dokter atau terapis dalam mendiagnosis pasien dengan gangguan kejiwaan dan kesehatan mental.
Baca juga: Kenali Apa itu Seks Anal dan Bahayanya Bagi Kesehatan
Kebanyakan orang dengan gangguan eksibisionistik tidak mencari pengobatan sendiri. Juga, tidak menerima pengobatan hingga ditangkap dan ‘diamankan’ oleh pihak berwenang.
Perawatan untuk eksibisionisme biasanya mencakup psikoterapi dan pengobatan.
Penanganan pedofilia dapat meliputi psikoterapi dan obat-obatan.
Psikoterapi individu atau kelompok jangka panjang serta pengobatan tepat dapat mengubah dorongan seks dan mengurangi kadar testosteron.
Hasil pengobatan juga dapat bervariasi.
Penanganan terbaik dapat terlihat saat penderita dengan sukarela menerima pelatihan keterampilan sosial dan pengobatan masalah lain, seperti penyalahgunaan obat atau depresi.
Perawatan yang dilakukan setelah penanganan hukum bisa jadi kurang efektif.
Hal ini disebabkan karena menempatkan penderita di penjara atau lembaga lain tidak akan mengubah keinginan atau fantasi yang timbul.
Namun, terdapat beberapa kasus saat penderita pedofilia yang dipenjara berkomitmen untuk melakukan perawatan jangka panjang terpantau berhasil menahan diri dan kembali diintegrasikan ke masyarakat.
Baca juga: Perilaku Seksual Kompulsif: Gejala, Efek Samping, dan Cara Mengatasi
Pengobatan gangguan fetisisme cenderung terbatas efektivitasnya.
Penanganannya dapat termasuk psikoterapi, obat-obatan seperti jenis antidepresan yang disebut inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI), atau keduanya.
Dibutuhkan penanganan jika perilaku frotteurisme menyebabkan adanya perilaku tidak pantas atau menyebabkan gangguan serta penderitaan yang signifikan akibat dorongan seksual yang timbul.
Psikoterapi adalah pendekatan penanganan paling umum.
Beberapa obat juga telah terbukti efektif dalam mengurangi perilaku kompulsif yang terkait dengan gangguan frotteurisme jika dikombinasikan dengan terapi.
Sama seperti fetisisme, penanganan bagi voyeurisme dapat termasuk psikoterapi dan obat-obatan seperti SSRI, atau keduanya.
Seseorang dengan gangguan sadisme seksual dapat mendapatkan kembali kendali atas hidup mereka dengan:
Baca juga: 8 Tanda Kencanduan Seks dan Cara Mengatasinya
Hal ini dapat dicapai dengan melakukan psikoterapi dan mengonsumsi obat-obatan sesuai anjuran dokter.
Orang dengan transvestisme dapat mengikuti kelompok sosial atau pendukung. Selain itu, juga dengan mengikuti psikoterapi.
Transvestisme dianggap sebagai gangguan dan memerlukan pengobatan hanya jika menyebabkan penderitaan, mengganggu fungsi, atau mengarah pada perilaku yang dapat mengakibatkan cedera, kehilangan pekerjaan, atau tindakan kriminal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.