Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/12/2021, 10:00 WIB
Annisyah Dewi N,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang kerap masuk ke dalam tubuh manusia.

Bakteri yang masuk ke dalam tubuh akan menginfeksi dan menyebabkan penyakit. Salah satu penyakit yang disebabkan karena infeksi bakteri adalah difteri.

Difteri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan.

Baca juga: 4 Mitos Seputar Vaksin yang Tak Perlu Kita Percaya

Penyakit ini umumnya menyebar melalui kontak langsung dari hembusan napas, batuk, atau bersin (droplet) dari orang yang terinfeksi.

Difteri dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan komplikasi berupa gagal jantung, kelumpuhan, bahkan kematian.

Hal ini dikarenakan infeksi telah menyebar dan menyebabkan kerusakan pada organ lain, seperti jantung, otak, dan ginjal.

Gejala

Merangkum National Health Service dan Mayo Clinic, gejala difteri umumnya muncul dalam 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi.

Gejala yang dapat muncul di antaranya:

  • Terbentuknya selaput tebal berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel
  • Sakit tenggorokan
  • Suara serak
  • Munculnya benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
  • Kesulitan bernapas
  • Demam dan menggigil
  • Tubuh merasa lemas.

Meskipun demikian, difteri dapat terjadi secara asimptomatik atau tidak menimbulkan gejala apa pun sehingga penderita tidak sadar bahwa dirinya terkena difteri.

Selain memengaruhi saluran pernapasan, difteri juga dapat memengaruhi kulit yang ditandai dengan beberapa gejala berikut:

Baca juga: 4 Jenis Vaksin yang Dibutuhkan Orang Dewasa

  • Benjolan berisi nanah pada kaki, telapak kaki, dan tangan
  • Muncul bisul besar pada kulit berwarna merah dan terasa sakit.

Penyebab

Melansir Healthline, difteri disebabkan karena infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae.

Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung dengan penderita atau dengan benda yang terinfeksi bakteri, seperti gelas atau tisu bekas.

Selain itu, bakteri juga dapat menyebar melalui hembusan napas atau percikan air liur (droplet) dari orang yang terinfeksi saat batuk atau bersin.

Faktor risiko

Menurut Healthline, terdapat beberapa kondisi yang meningkatkan risiko seseorang terkena difteri, antara lain:

  1. Tidak mendapat vaksinasi difteri secara lengkap
  2. Mengunjungi lokasi wabah difteri
  3. Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti mengidap AIDS
  4. Hidup di area dengan kebersihan yang buruk atau tidak sehat dan padat penduduk.

Diagnosis

Merangkum Centers for Disease Control dan Penn Medicine, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan memeriksa bagian dalam mulut penderita.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat lapisan abu-abu pada tenggorokan atau amandel.

Baca juga: Berbagai Jenis Vaksin yang Diperlukan oleh Anak-anak

Selain itu, dokter akan mengambil sampel lendir dari tenggorokan atau hidung penderita melalui pemeriksaan swab untuk memastikan diagnosis difteri.

Pemeriksaan swab juga dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab difteri.

Dokter mungkin akan mengambil sampel dari luka terbuka atau bisul untuk mendeteksi adanya bakteri.

Namun, keberadaan bakteri pada luka terbuka umumnya butuh waktu yang lebih lama untuk tumbuh atau berkembang biak.

Maka dari itu, penting untuk segera melakukan penanganan apabila dokter telah mendeteksi difteri melalui pemeriksaan swab.

Perawatan

Dikutip dari Mayo Clinic, difteri merupakan penyakit serius sehingga penting untuk segera ditangani.

Berikut beberapa penanganan yang dapat diberikan pada penderita difteri:

  • Antibiotik

Antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin, diberikan untuk membunuh bakteri dalam tubuh, serta membersihkan infeksi dan menghambat penularan.

  • Antitoksin

Antitoksin diberikan untuk menghentikan atau melawan zat racun yang diproduksi oleh bakteri.

Baca juga: Bagaimana Vaksin Bisa Menangkal Penyakit?

Pemberian antitoksin dilakukan melalui suntikan pada pembuluh darah. Sebelum melakukan metode ini dokter akan mungkin akan melakukan tes alergi.

Tes alergi dilakukan guna memastikan penderita tidak memiliki alergi terhadap antitoksin.

  • Perawatan lanjutan

Penderita difteri sering kali memerlukan rawat inap selama menjalani perawatan untuk mengawasi reaksi terhadap obat yang diberikan dan mencegah penularan penyakit.

Mereka mungkin akan diisolasi di Intensive Care Unit (ICU) karena difteri menyebar dengan mudah dan cepat.

Komplikasi

Menurut Centers for Disease Control, difteri dapat menimbulkan beberapa komplikasi berikut ketika racun telah menyebar dan merusak berbagai organ:

  1. Masalah pernapasan akibat adanya selaput tebal berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel sehingga menghambat pernapasan
  2. Kerusakan jantung, seperti peradangan pada otot jantung (miokarditis)
  3. Kerusakan saraf, seperti polineuropati yang terjadi akibat penyakit atau gangguan pada banyak saraf secara bersamaan
  4. Kehilangan kemampuan untuk bergerak atau kelumpuhan (paralisis)
  5. Gagal ginjal.

Pencegahan

Merangkum Healthline dan Mayo Clinic, pencegahan difteri dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi DPT.

Baca juga: Jadwal Imunisasi Anak Terbaru Rekomendasi IDAI tahun 2020

Imunisasi DPT merupakan pemberian vaksin difteri yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis).

Pemberian vaksin dilakukan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta pada usia 5 tahun.

Setelah itu, vaksin DPT (Tdap atau Td) akan diberikan pada rentang usia 10 sampai 12 tahun dan 18 tahun untuk mempertahankan kekebalan tubuh.

Akan tetapi, untuk vaksin Td akan dilakukan setiap 10 tahun. Vaksin difteri diberikan kepada siapa saja, mulai dari anak-anak dan orang dewasa.

Terdapat vaksin alternatif yang digunakan bagi anak-anak berusia 7 tahun ke atas yang belum mendapat imunisasi DPT, yaitu vaksin Tdap.

Sedangkan bagi anak-anak berusia di bawah 7 tahun dan belum mendapat imunisasi DPT atau tidak mendapat imunisasi lengkap, dapat berkonsultasi dengan dokter mengenai imunisasi kejaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.

Video rekomendasi
Video lainnya

Indeks Penyakit


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com