Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/09/2021, 13:00 WIB
Xena Olivia,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sindrom serotonin merupakan kondisi di mana obat yang dikonsumsi seseorang menyebabkan kadar serotonin menumpuk di dalam tubuh.

Serotonin adalah zat kimia yang diproduksi tubuh untuk membantu sistem pencernaan, aliran darah, suhu tubuh, dan sistem pernapasan.

Melansir Healthline, serotonin juga dapat membantu fungsi kerja saraf dan sel otak, serta dipercaya dapat memengaruhi suasana hati seseorang.

Baca juga: Penting untuk Kesehatan Mental, Berikut 4 Cara Meningkatkan Serotonin

Obat-obatan yang mengandung serotonin biasanya digunakan untuk mengobati depresi, sakit kepala migrain, dan mengelola rasa sakit.

Kadar serotonin yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gangguan dan menimbulkan gejala secara ringan (menggigil dan diare) hingga berat (kekakuan otot, demam, dan kejang).

Apabila tidak ditangani dengan tepat dan segera, sindrom serotonin yang parah dapat mengancam nyawa.

Gejala

Gejala sindrom serotonin biasanya dapat timbul beberapa jam setelah memulai pengobatan baru.

Hal tersebut dikarenakan obat-obatan baru dapat meningkatkan kadar produksi serotonin dalam tubuh.

Selain itu, sindrom serotonin juga dapat terjadi jika ada peningkatan dosis obat yang sudah diminum sebelumnya.

Baca juga: 8 Makanan untuk Meningkatkan Hormon Serotonin, Bikin Mood Lebih baik

Gejala yang dapat timbul antara lain:

  • agitasi atau kegelisahan
  • kebingungan
  • detak jantung cepat dan tekanan darah tinggi
  • pupil mata terdilasi
  • kehilangan koordinasi otot atau otot berkedut
  • otot terasa kaku
  • berkeringat banyak
  • diare
  • sakit kepala
  • gemetaran
  • merinding

Sindrom serotonin yang parah dapat mengancam nyawa. Tanda-tandanya meliputi:

  • demam tinggi
  • kejang
  • detak jantung tidak teratur
  • Ketidaksadaran

Diagnosis

Tidak ada tes khusus yang dapat mengidentifikasi sindrom serotonin. Dokter akan mempertimbangkan gejala yang timbul serta semua obat yang dikonsumsi penderita.

Obat tersebut termasuk obat resep, obat bebas, suplemen, atau obat lainnya.

Beberapa kasus sindrom serotonin menunjukkan adanya gejala yang serupa dengan kondisi sindrom neuroleptik ganas (NMS).

NMS adalah reaksi serius terhadap obat antipsikotik seperti haloperidol dan fluphenazine yang sifatnya langka.

Baca juga: Detoks Dopamin, Cara Lepaskan Diri Dari Kesenangan Sementara

Penting bagi penderita untuk jujur soal obat yang dikonsumsi serta aktivitas yang dilakukan sebelumnya.

Tes yang mungkin akan dilakukan dokter untuk membantu diagnosis dapat meliputi:

  • tes darah
  • kultur darah
  • tes fungsi tiroid
  • tes fungsi ginjal
  • tes fungsi hati

Komplikasi

Kejang otot yang muncul sebagai gejala sindrom serotonin dapat menyebabkan kerusakan jaringan otot.

Akibatnya, kerusakan jaringan tersebut dapat merusak ginjal.

Penanganan rumah sakit akan meliputi menggunakan obat yang dapat melumpuhkan otot penderita secara sementara untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Penderita juga kemungkinan akan diberikan tabung pernapasan dan respirator untuk membantu pernapasan.

Perawatan

Jika kasus masih tergolong ringan, dokter akan menghentikan obat atau mengubah dosis agar gejala sindrom serotonin yang muncul dapat hilang.

Tingkat serotonin tubuh dapat kembali normal dalam beberapa hari. Jangan mengganti obat tanpa saran dokter.

Baca juga: Memahami Efek Alkohol Pada Ginjal

Dokter juga dapat meresepkan obat yang membuat tubuh berhenti memproduksi serotonin. Obat-obatan ini dapat membantu meringankan gejala.

Beberapa kasus sindrom serotonin yang serius membuat penderitanya harus dirawat di rumah sakit dan diawasi dengan ketat.

Pencegahan

Tidak dapat penanganan khusus terhadap sindrom serotonin. Pastikan selalu mengikuti resep obat yang diberikan oleh dokter dan berkonsultasi secara berkala.

Penting untuk memantau dengan cermat kombinasi obat yang dikonsumsi untuk mengetahui jika gabungannya dapat meningkatkan kadar serotonin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.

Video rekomendasi
Video lainnya

Indeks Penyakit


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com